Setiap orang takut akan kematian, termasuk penulis sendiri. Kehilangan salah satu anggota keluarga tercinta adalah hal yang paling menyakitkan. Namun, bagaimana pun, kita semua akan meninggal. Tergantung batas usia kita yang sudah ditentukan oleh Sang Pencipta.
Salah satu tokoh humanisme global, yakni Zig Ziglar mengatakan bahwa "Jika engkau kecewa dan mengeluh terhadap kekurangan yang ada pada dirimu sendiri, maka datanglah kepada Sang Arsitek yang telah merancang dan menciptamu."
Jujur, saat ini saya memang berada di bawah titik terendah kehidupan. Bagaimana tidak, ketika karier saya mulai menuju sesuatu yang menjanjikan, tetiba adik kandung saya "Selviana Suni yang sudah memasuki usia ke-17 tahun dipanggil oleh Tuhan.
Apa yang saya miliki saat ini, rasanya tidak berarti dan bernilai. Karena pohon keluarga saya perlahan-lahan akan keropos, lalu hancur dan pada akhirnya berkeping-keping.
Bertahun-tahun saya memilih untuk mengejar kebahagiaanku di kota metropolitan Jakarta, sembari saya menikmati hujan kelap-kelip malam kota Jakarta serta dinamika dan dramatisasi kehidupannya.
Namun, Maret 2022 menjadi mala petaka bagi keluarga saya. Terutama saya sebagai anak sulung yang belum memberikan sesuatu yang berharga dan berarti bagi adik-adikku.
Memang benar apa yang dikatakan oleh filsuf Plato dalam etika "Nicomachean" bahwa " pencarian tertinggi dan terakhir dari kehidupan manusia adalah kebahagiaan."
Lantas, apakah saat ini saya sudah menemukan kebahagiaan? Oh belum tentu, saat ini saya merasa tidak menemukan arti kebahagiaan menurut pandangan filsuf berpengaruh asal negeri Yunani tersebut. Justru, yang saya dapatkan saat ini adalah penderitaan.
Kebahagiaan dan Penderitaan sebagai Jalan Hidup Manusia
Ketika saya menelisik dari arah Filsafat Timur, khususnya ajaran Sang Budha yang bertahun-tahun mencari kebahagiaan di dalam istana, namun pada akhirnya Sang Budha keluar dari lingkaran tersebut dan keluar untuk mencari arti kebahagiaan.
Namun, hal pertama yang ditemukan oleh Sang Budha adalah kegelisahn. Ya, Sang Budha gelisah karena apa yang ia alami di dalam tembok istana, tidak seindah di luarnya. Di mana ia menemukan penderitan, kelaparan, dan berbeagai penyakit yang dialami oleh sesamanya yang berada di pinggir jalan, dan berbagai fasilitas umum lainnya.
Demikian kondisi saya saat ini. Di mana, dulu saya melihat, merasakan, dan menyaksikan sesamaku (Liyan) yang mengalami penderitaan karena kehilangan orang-orang tercinta mereka. Saat itu, saya tidak merasa apa-apa. Namun, ketika saya merasakan peristiwa kehilanagn, di situlah baru saya sadar akan pentingnya komunikasi dengan keluarga dalam kondisi apa pun.
Karena sebagai diaspora atau perantau, terkadang kita hanya sibuk mengejar kebahagiaan kita sendiri di tanah rantau, alih-alih mengumpulkan berbagai kekayaan yang akan membuat kita bahagia. Namun, pada realitanya tidak seindah dengan angan-angan.
Kita akan sadar, ketika salah satu anggota keluarga kita pergi. Ya, pergi untuk selama-lamanya. Di situlah penyesalan mengejar kita. Namun, semua sudah terlambat. Karena waktu dan kebersamaan bersama keluarga tercinta itu tidak akan terulang lagi.
Pepatah klasik selalu mengatakan bahwa "banyak hal kita bisa ulangin, namun kesempatan untuk membahagiakan keluarga, adik-adik, dan membahagian diri sendiri itu hanya sekali saja."
Jika sobat Kompasianer dan pembaca ada yang pernah kehilangan anggota keluarga, berarti tahu dan paham akan tulisan ini.
Akhirnya, selamat jalan adik tercinta (Selvy Suni). Jadilah, pendoa bagi kami semua yang masih berjuang dan berziarah di dunia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H