Membaca buku itu perjalanan bukan tujuan
Mira adalah mahasiswi tingkat akhir di Universitas Dian Nusantara Jakarta. Sejak kecil ia selalu dipaksa oleh orang tuanya untuk membaca buku. Akan tetapi, Mira berusaha untuk menolak. Akibatnya, ia diberi nama baru oleh orang tuanya, yakni Miranda.
Alasan pemberian nama ini ada filosofinya yakni anak yang selalu membantah orang tuanya. (Disclaimer: Siapa pun yang bernam Mira dan Miranda, penulis mohon maaf, karena ini bukan berkaitan dengan kehidupan Anda).
Baca Juga:Â Webinar Undira: Tantangan Elearning di Perguruan Tinggi dan Bagaimana Solusinya?
Seiring dengan bergulirnya waktu, Mira tumbuh menjadi remaja yang suka membaca surat cinta.
Mengapa Mira suka membaca surat cinta secara berulang kali? Karena ia selalu menantikan kata-kata yang romantis dari tambatan hatinya. Setiap kali ia membaca surat pemberian dari tambatan hatinya, Mira merasa lebih bergairah dan hatinya pun berbunga-bunga.
Dari cara membaca surat cinta konvensional itu, ia pun mencari situs-situs cerita romantis di Wattpad atau Storial dan lain sebagainya hanya untuk memuaskan rasa penasarannya.
Suatu hari, orang tua merasa bingung dengan tumpukan buku pelajaran yang ada di meja belajarnya yang masih terbengkalai. Lalu, ayahnya mendekati Mira (Miranda) dan bertanya, nak kamu kok suka sekali membaca cerita-cerita romantis?
Jawab Mira, "Ia pak, soalnya setiap kali membaca surat maupun cerita romantis, saya merasa jiwa saya dalam perjalanan menuju pencarian akan cinta sejati."
Itu berbeda jauh dengan saat membaca buku pelajaran yang bahasanya berat-berat, monoton, dan tidak ada gairah sama sekali. Akibatnya, saya membaca hanya untuk mengerjakan tugas sekolah.
Di sini sudah sangat jelas bahwa ketika kita membaca buku dengan tujuan, maka sampai kapan pun kita tidak akan menemukan sesuatu. Justru kebosonan lah yang kita rasakan.
Namun, ketika kita membaca buku dengan mengkonsepkan seperti perjalanan cinta dua orang kawula muda atau pasangan muda mudi, kita akan terus berjalan dalam diksi-diksi yang menggairahkan dan menyenangkan.
Selain itu, kita merasa hari-hari kita pun jadi lebih baik dan dipenuhi cinta.
Inilah yang ditekankan oleh Prof. Dr. Ir. R. Eko Indrajit, M.Sc., MBA, M.Phil., MA (Rektor Universitas Pradita) kepada peserta webinar "Implementasi Elearning di Perguruan Tinggi; Peluang dan Tantangan dan Solusi" yang diadakan oleh Universitas Dian Nusantara, Sabtu (19/2/2022).
Selain itu, Prof Eko juga menegaskan kepada praktisi pendidikan di Perguruan Tinggi untuk selalu mengikuti perkembangan psikologi (Afeksi) mahasiswa. Tujuannya adalah model pembelajaran yang ditawarkan kepada mereka juga diterima dengan baik.
Jangan sampai ketika mahasiswa mengikuti kuliah online bersama dosen, wajah mereka berkerut-kerut dan tidak ada gairah. untuk itu, Prof Eko menawarkan solusi kepada praktisi pendidikan di Perguruan Tinggi untuk berani meninggalkan model pembelajaran lama yang masih menjadi cerita romantis dan indah bagi segelintir dosen kolonial.
"Jangan bangga dengan kejayaan pada masa lalu, tetapi berusahalah untuk menciptakan model pembelajaran yang lebih sederhana, adaptif dan mudah diterima oleh mahasiswa, ujarnya
Untuk mencapai cara pembelajaran tersebut, ia menambahkan bahwa kesuksesan sangat tergantung kemampuan dosen membangun motivasi dan engagement atau komunikasi dua arah selama pembelajaran berlangsung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H