Pemikiran dari praktisi kolonial dan milenial memang berbeda jauh. Di mana praktisi kolonial masih mempertahankan cara-cara lama, sementara wajah pendidikan selalu bertransformasi mengikuti perubahan dan tuntutan zaman revolusi industri 4.0 dan sekarang menuju revolusi industri 5.0.
Baca Juga: Rusia Mundur dari Perbatasan Ukraina, Putin Kehilangan Panggung
Bagi praktisi milenial tentu ini menjadi sesuatu yang sangat menggembirakan. Karena kebanyakan praktisi milenial mudah beradaptasi dengan perubahan zaman. Selain itu juga, minat peserta didik pun selalu berubah mengikuti perubahan zaman.
Di sini ada chemistry antara praktisi pendidikan milenial dengan peserta didik. Sementara, di lain pihak, ada geger teknologi bagi praktisi kolonial.
Tentu saja kita tidak menyalahkan siapa-siapa di sini. Namun yang menjadi problematika pendidikan di negeri ini adalah sejak dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, nilai itu masih menjadi sesuatu yang berharga bagi wajah pendidikan tanah air.
Terkadang nilai juga menyebabkan konflik antara praktisi pendidikan dan peserta didik sendiri. Akibatnya, relasi antara Guru/Dosen dan Siswa/Mahasiswa menjadi tidak akur.
Begitu pun dengan peserta didik di luar sekolah. Yang kerak kali suka membandingakan jurusan yang satu dengan jurusan yang lainnya.
Sejujurnya, penulis lebih sreg atau setuju dengan paradigma yang dibangun oleh Nadiem Makarim soal Merdeka Belajar, khususnya penghapusan jurusan di tingkat SMA.
Namun, terlepas dari pro kontra itu, ada benarnya jika penghapusan jurusan di tingkat SMA
Mengapa Jurusan di tingkat SMA harus dihapus? Â Â
Karena dua belas tahun pendidikan di negeri ini hanya mengajarkan peserta didik untuk mengejar nilai.
Nilai seolah-olah menjadi harga mati dari pendidikan. Akibatnya, peserta didik hanya belajar saat mengejarkan tugas, mengikuti ujian tengah semester, dan ujian akhir sementer. Rasanya miris pendidikan kita di negeri ini.
Lalu, bagaimana solusi yang tepat dan efektif bagi praktisi pendidikan kolonial dan milenial?
Ribuan praktisi pendidikan ada di platform Kompasiana, namun apakah dari sekian banyak praktisi ini, ada yang sudah mendirikan sekolah Blogging?
Jika ada, barangkali masih bisa dihitung dengan jari. Padahal setiap hari, kita selalu menulis dan menyebarkan literasi di platform terbesar se-Asia Pasifik ini. Motivasi dan inspirasi selalu mengalir tanpa henti kepada anak didik di seluruh pesolosok negeri.
Namun, dari sekian banyaknya program-program yang ditawarkan oleh Pemerintah Pusat melalui Kemendikbud-Ristek (Kemendikbud-Ristek) terkait Merdeka Belajar, sejauh ini penulis dan segelintir orang yang selalu resah dengan pendidikan di negeri ini mulai membuka paradigma untuk mengusulkan soal Sekolah/Kampus Bloging.
Nah, bertepatan dengan topil Kompasiana terkait Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan -- Riset dan Teknologi, penulis mengusulkan jika memungkinkan praktisi pendidikan kolonial dan milenial menawarkan program-program belajar yang lebih disukai oleh minat siswa.
Artinya, jika praktisi pendidikan yang suka dan nyaman di dunia blogging, tidak salah kok untuk mengajarkan peserta didiknya. Siapa tahu dari cara-cara sederhana itu, ke depan bisa melahirkan penulis-penulis konten yang handal di negeri ini.
Sebaliknya, praktisi yang bergerak di bidang apa pun juga bisa memandu anak didiknya untuk menggali talenta dan minat yang mereka miliki. Karena dengan begitu, relasi antara Guru dan siswa menjadi lebih nyaman dan akrab dalam mengembangkan softskill dan hardskill mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H