Semua tercerai berai akibat dari peperangan panjang di pulau Timor antar kepala suku hanya untuk memuaskan ego dan memperluas wilayah kekuasaannya.
Memang benar adanya seperti yang dikatakan dalam istilah latin yakni " Jika kita mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah untuk berperang."
Akana tetapi, waktu itu pemimpin kepala suku atau Raja yang berperang itu tidak memikirkan dampak yang akan ditimbulkan di masa yang akan datang.
Mereka hanya memikirkan apa yang terjadi pada saat itu (Past Continous tense). Seiring dengan berjalannya waktu, terjadilah kisah cinta atau pernikahan silang antar Raja maupun anggota sukunya.
Lalu, untuk mendamaikan perselisihan tersebut pada masa lampau, jalan yang tepat dan efektif adalah melalui Hel Keta.
Karena dalam Hel Keta itulah ada perdamaian. Hel Keta telah mencairkan kembali suasana persaudaraan yang sudah lama tercerai berai antar suku Timor sendiri.
Alasan lain memilih perbatasan kampung dan sungai adalah karena di zaman dulu, untuk mematai-matai musuh, tentunya personil dari suku tertentu pasti merencanakan sesuatu di perbatasan kampung sebelum menyerang suku yang lain.
Begitu pun melalui sungai, ada berbagai taktik yang dilakukan oleh pasukan perang. Untuk itu, perbatasan kampung dan sungai adalah makna simbolik untuk kembali merajut tali persaudaraan (sosio-kultural) yang sempat hilang, lenyap, musnah, dan tak tersisa.
Ini kita kembali pada hukum sebab akibat (kausalitas) dalam filafat Kosmologi yang mengatakan bahwa lingkaran kebaikan atau pun kejahatan itu di mulai dari satu titik, pada akhirnya akan kembali pada titik (spiral) tersebut.
Terakhir; Poin penting dari tradisi "Hel Keta" dari sudut sosio-kultural adalah sebagai berikut;
1. Tradisi Hel Keta membawa dialog antar tetua adat