Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Content Creator Tafenpah

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hel Keta sebagai Simbol Persatuan Atoin Pah Meto (Suku Timor) dalam Pandangan Ernst Cassirer

7 Februari 2022   15:54 Diperbarui: 7 Februari 2022   23:35 2055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hel keta sebagai simbol persatuan suku Timor Dawan. Kredit Foto:  Herman Efriyanto Tanouf

Sebagai Atoin Meto (Etnis Dawan) saya merasa malu dengan rekan-rekan budaya dari berbagai daerah lainnya. Karena mereka bertindak, bertutur, berelasi, dan memutuskan sesuatu berdasarkan filosofi kebudayaan dari mana mereka dilahirkan. Karena budaya itu melambangkan identitas bangsa, khususnya acara 'HEL KETA.'

Kegelisahan ini saya akan kaji dari ranah Filsafat, khususnya Filsafat Budaya. Bagi Ernst Cassirer pertanyaan yang menunjuk pada proses pengenalan diri itu merupakan tujuan tertinggi dalam pengkajian filosofis. Bahkan Ernst Cassirer menyebutnya sebagai titik Archimedes yaitu pusat yang tetap dan bahkan tak bergeser dari semua pemikiran filsafat.

Artinya Hel Keta itu tidak akan tergantikan dengan ideologi apa pun. Karena suku Timor Dawan (Atoin Meto) lahir, tumbuh, dan besar pun dalam lingkaran kebudayaan tersebut.

Kehadiran Teologi itu hanya sebagai penyeimbang. Artinya adat-istiadat suku Timor (Hel Keta) yang dipolemikan oleh pihak Gereja Katolik Keuskupan Atambua, Belu, NTT dan masyarak Dawan sudah ada jauh sebelum penyebaran agama Katolik dan Kristen oleh bangsa Portugal dan Belanda di tanah Timor.

Baca Juga: Gunung Mutis Surganya Tanah Timor, NTT

Untuk itu, sebaiknya Teologi berjalan sesuai dengan ranahnya, sementara adat-istiada itu pun demikian. Karena bagaimana pun Hel Keta itu adalah kearifan lokal nusantara yang perlu dan wajib dilestarikan untuk generasi bangsa.

Para pendiri bangsa ini pun sangat menghargai kebudayaan nusantara. Karena melalui budaya, kita diakui oleh bangsa-bangsa lain. Negara tanpa budaya akan pincang, karena tidak ada fondasinya. Begitu pun, Gereja tanpa adat-istiadat, bagaikan makan tanpa garam.

Hel Keta Sebagai Simbol Persatuan

Brilionet
Brilionet

Seperti yang kita ketahui bahwa pada zaman dulu, nenek moyang kita saling bermusuhan, entah dalam aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Akibatnya terjadi perang antar suku di pulau Timor. Kala itu, nenek moyang masih belum tahu dampak yang akan ditimbulkan dari peperangan itu bagi anak cucunya.

Lalu, seiring dengan perjalanan waktu, anak cucu antar suku pun mulai menjalin hubungan bahkan hingga sampai pada pernikahan. Sebelum menuju pernikahan, terlebih dahulu tetua adat harus berdamai.

Baca Juga: Yuk, Mengenal Lebih Dekat Ke-eksotikan Pantai Wini, Timor, NTT


Lalu, muncullah Hel Keta sebagai jalan rekonsiliasi. Hel Keta secara etimologi berasal dari dua suku kata yang berasal dari bahasa Dawan, yakni HEL yang berarti: menarik atau membatasi. Sementara, KETA yang berarti lidi.

Di pulau Timor kita akan mudah mendapatkan lidi dari pohon lontar dan pohon kelapa. Hel Keta berarti menarik atau mengabaikan lidi lontar yang sudah ada sepanjang kehidupan.

Akhirnya, kita bisa menarik kesimpulan bahwa HEL KETA  itu bersifat simbolis dan mengandung pengertian halangan, yang sudah terbentuk sejak terjadi peperangan antarsuku dan kampung baik yang bertetangga maupun yang saling berjauhan.

Hubungan Pemikiran Ernst Cassirer dan Tradisi Hela Keta

Hel keta sebagai simbol persatuan suku Timor Dawan. Kredit Foto:  Herman Efriyanto Tanouf
Hel keta sebagai simbol persatuan suku Timor Dawan. Kredit Foto:  Herman Efriyanto Tanouf

Kita memiliki kemampuan dan hak istimewa untuk tetap melestarikan kebudayaan setempat dari mana kita dilahirkan. Sebagai orang Timor, saya pun harus bertanggung jawab untuk terus melestarikan kearifan lokal saya, terutama Hel Keta. 

Terlepas dari keputusan kolektif atau sepihak dari Keuskupan Atambua, tanpa melibatkan tetua adat di tanah Timor, sebelum memutuskan untuk melarang upacara Hel Keta yang dianggap Keuskupan sebagai praktek yang bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik.

Setahu pemahaman saya, Gereja Katolik itu merangkul kearifan lokal umat. Bukan sebaliknya berusaha untuk menghilangkan budaya lokal setempat.

Baca Juga: Fulan Fehan Surgaku

Okeylah, jika pihak Keuskupan melarang upacara hel keta dengan dalil sebagai memecah belah, membebankan pihak keluarga dari sisi ekonomi, tidak ada landasan dalam Iman Gereja Katolik dan tiadanya landasan dalam sosio-kultural.

Saya kurang sependapat dengan ke-4 poin dalam surat edaran dari Keuskupan. Karena budaya Hel Keta itu adalah patokan, filosofi, fondasi, rujukan bagi setiap pernikahan di suku Timor Dawan. Dan masih memiliki korelasi dengan kehidupan sosio-kultural Atoin Meto (Suku Timor). Semakna yang dikatakan oleh filsuf Ernst Cassirer bahwa bahasa, mitos, religi, kesenian, sejarah merupakan sektor atau bagian-bagian penting dalam dunia kehidupan manusia.

Terakhir, "Kalu jadi Hindu jangan jadi orang India, Kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab,  Kalau jadi orang Kristen jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat -- Budaya Nusantara kita yang kaya raya ini," -- Ir. Soekarno.

Salam waras dari generasi Timor

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun