Bahasa itu simbol dari bangsa tertentu. Bahasa Indonesia adalah simbol yang mempersatukan kita, mulai dari Sabang sampai Merauke.
Jika saya melihat kembali ke belakang zaman abad pertengahan, khususnya filsafat Patriarki, di sana bahasa Latin getol disebarluaskan oleh kerajaan Romawi ke berbagai penjuru dunia. Demikian juga bahasa Arab, India, dan China.
Inilah kekuataan bahasa dari kerajaan-kerajaan besar dunia yang pernah meninggalkan jejak literasi bagi kita di zaman sekarang.
Dari sana, kita belajar untuk kembali melihat sekaligus mencintai budaya kita sendiri. Karena mencintai kebudayaan (bahasa) merupakan investasi jangka panjang untuk kehidupan generasi yang akan datang.
Menarik apa yang disampaikan dalam topik pilihan Kompasiana "Bahasa Anak Jaksel." Sebelum kita menguliti lebih lanjut, kita juga perlu memahami konteks sosial, khususnya penghuni Jakarta Selatan yang mayoritas adalah campuran dari berbagai negara.
Sentuhan-sentuhan lintas budaya dalam kehidupan anak Jaksel saat ini tidak terlepas dari kontribusi eks patriat atau warga asing yang memilih untuk tinggal di Indonesia.
Ketika lingkungan itu semakin banyak ditempati oleh budaya asing, perlahan-lahan gaya komunikasi mereka juga akan berubah.
Perubahan dimulai dari kombinasi bahasa Indonesia dengan bahasa asing yang tentunya juga akan memberikan tantangan sendiri bagi eksistensi atau keberadaan bahasa Indonesia sendiri.
Jika kita berkaca dari bahasa Portugal yang dari akarnya adalah bahasa Latin. Tetapi, seiring dengan bergulirnya waktu, kombinasi bahasa lokal dan latin ikut melahirkan gaya komunikasi baru.
Fakta itu pun kini kita bisa temukan dan alami serta rasakan dalam membangun komunikasi bersama anak-anak milenial, khususnya yang berada di Jakarta Selatan.
Purnama waktu akan ikut melahirkan gaya bahasa Indonesia baru, bukan hanya di kawasan Jakarta Selatan. Tetapi juga sudah mulai terasa di berbagai kota besar nusantara.