Setiap episode kehidupan manusia ada jalan ceritanya. Pertalian antar episode kehidupan manusia membawa pro dan kontra. Hubungan timbal balik ini menciptakan peperangan. Senada dengan pendapat dari Thomas Hobbes terkait "Ruang Publik" yakni; "Manusia adalah mahkluk perang."
Diskursus atau konsep pemikiran ini mengacu pada situasi, keadaan yang sedang terjadi di dalam rumah Kompasiana, khususnya bagi Kompasianer.
Masalah utama yang dihadapi oleh Kompasianer adalah soal "eksistensi" atau keberadaan (being) artikel "Politik " dan "Anime."
Maka, muncullah perdebatan yang sengit antar sesama Kompasianer. Masalah ini tidak akan berakhir, sebelum pengelola Kompasiana turun gunung.
Apakah dengan jalur "Busway" ini, kekisruhan sesama Kompasianer akan menemui takdirnya?
Belum tentu juga! Karena filsuf Friedrich Nietzsche berpendapat; " Manusia secara alamiah memiliki kecenderungan untuk berkuasa."
Distingsi atau perbedaan ini semakin panas menjelang kontestasi Pilpres 2024. Ada beberapa Kompasianer yang sudah berpengalaman dalam melihat, mengamati, mencium, meraba, dan menyentuh ruang lingkup politik itu sendiri.
Ada juga Kompasianer yang tenang mendayung tetapi hatinya membara dengan perubahan yang terjadi di dalam rumah Kompasiana.
Elaborasi atau percampuran emosional Kompasianer ini menyebabkan kekacauan berpikir. Akibatnya, relasi Kompasianer semakin renggang.
Karena setiap orang ingin menunjukkan bahwasannya pendapat atau idenya yang paling benar dari yang lain. Masalah baru pun muncul yakni; "krisis eksistensi lanjutan dari eksistensi pertama."
Setiap Orang Ingin Dimengerti
Setiap pilihan ada risikonya. Kompasianer yang memilih untuk terjun ke rumah Kompasiana sudah pasti tahu konsekuensinya.
Jika ada yang belum tahu, pengalaman yang akan memberitahukannya. Terkait dengan frase 'setiap orang ingin dimengerti," saya melihat dan merasakan sendiri akan perubahan yang terjadi di rumah Kompasiana.
Di mana kita cenderung untuk memaksakan kehendak atau kemauan kita kepada orang lain. Akan tetapi, kita pun sulit untuk mengerti atau memahami orang lain.
Contoh; Kompasianer yang memilih untuk menulis kanal "Spoiler Manga dan Anime" seperti Kompasianer Steven Chaniogo tentu memiliki harapan untuk bisa diterima oleh semua orang.
Ternyata, harapan Steven tidak sejalan. Mengingat setiap orang memiliki kepentingan berbeda di Kompasiana. Di mana, penulis kanal lain pun memiliki harapan yang sama. Saya pun begitu.
Lantas apa yang kita lakukan untuk keluar dari "krisis eksistensi" ini?
Yang pasti kita melihat motivasi awal kita menulis. Selain itu, kita harus tahu bahwasannya kita datang dari berbagai latar belakang yang berbeda pula. Untuk itu, semangat "Bhineka Tunggal Ika" harus kita perjuangkan bersama. Apalagi, besok adalah hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-76.
Mari, kita cairkan hati dan batin kita untuk merayakan momentum Kemerdekaan kita yang ke-76. Perbedaan pendapat ada untuk saling memperkaya, bukannya saling menyerang antar sesama Kompasianer.
Hargailah ruang privat dan ruang publik sesuai dengan semangat "Beyond Blogging."
Salam dari penulis desa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H