Popularitas dan kekayaan materi tidak menjamin kebahagiaan seseorang. Gronya Somerville merasa sedih atas kepergiaan ayahnya tercinta saat ia berusia tiga tahun. Karena sang superhero (ayahnya) menderita kanker otak.
Ungkapan kesedihan ini berawal dari postingan Gronya Somerville di akun instagramnya @Gronyasomerville ketika mengikuti pembukaan Olimpiade Tokyo 2020 6 hari yang lalu. Di mana, Gronya Somerville melambaikan tangannya kepada ibunda tercinta yang berada di negeri Kangguru (Australia), dengan bertulisankan, "Hi Mum."
Baca Juga: Zehra Gunes Idola Baru Olimpiade Tokyo 2020
Sontak rasa kepo warga pemilik +62 (Indonesia) membanjiri kolom komentar dari postingan Gronya Somerville.
Ada yang memberikan dukungan, ada yang mengakui kecantikan dan bakatnya, ada yang meminta Gronya Somerville untuk mengirimkan foto ibunya melalui DM pribadi.
Dan yang menyayat hati adalah salah satu fans yang merasa keberatan. Gegara Gronya nggak menyapa ayahnya juga.
Begini cuplikan dari pemilik akun instagram @Castiliano_Yuri 'Why don't you write "Hi Mom & Dad"
Balas Gronya Somerville "My hands are only so big!! But also my Dad passed away when I was 3 Years old from brain cancer.
Saya pun menerjemahkan bebas dari ungkapan Gronya dengan bunyi " Tanganku begitu besar!! Tapi, ayahku meninggal saat saya berusia 3 tahun. Karena kanker otak."
Gronya Somerville Kelimpahan Materi Tanpa Keutuhan Keluarga
Pepatah klasik mengatakan " keluarga adalah harta yang paling berharga." Segala sesuatu itu berawal dari lingkungan keluarga dan pada akhirnya akan kembali kepada keluarga."
Siklus perputaran kebaikan ini selalu memiliki ikatan emosional yang tidka bisa dipisahkan dari kehidupan seseorang.
Gronya Somerville saat ini memang berada di atas roda kehidupan. Karena kerja kerasnya di bidang olahraga bulu tangkis telah memberikan kenyamanan hidup berupa materi.
Akan tetapi, kekayaan materi yang dimiliki oleh Gronya Somerville itu tak berarti baginya. Ia merasa sayapnya patah seperti kisah cinta Filsuf dan Sastrawan besar dunia, Kahlil Gibran untuk gadis Perancis dan Lebanon yang memilih untuk menikahi Pendeta serta pujangga wanita Mesir yang selalu mengirimkan surat untuknya. Tapi, Kahlil Gibran tak pernah melihat sosok tambatan hatinya itu. (Novel: Sayap-sayap Patah atau Broken Wings).
Gronya Somerville melihat, merasa dan menikmati segala kemewahan dari bidang olahraga. Namun, ia selalu gelisah akan kehadiran ayah tercinta yang pergi mendahuluinya sejak ia berusia 3 tahun.
Gronya Somerville gelisah dan luka batinnya tak akan pernah termakan oleh waktu. Akibatnya, Gronya berjalan tanpa sayapnya yang satu yakni ayah tercinta.
Gronya Somerville Mewakili mereka Yang Kehilangan Orangtuanya
Setiap orang punya kesedihan tersendiri. Ada yang dilahirkan tanpa dukungan dari sosok ayah. Ada yang masih kecil sudah ditinggalkan oleh ayahnya. Entah karena penyakit, bencana alam, kecelakaan tak terduga dan berbagai hal yang di luar batas kemampuan kita.
Popularitas Gronya Somerville sekarang sudah semakin mendunia. Olimpiade Tokyo 2020 telah membantu Gronya untuk menajamkan dirinya sebagai atlet pebulu tangkis Australia yang disegani oleh dunia.
Ternyata, di balik popularitas dan keceriaan yang dipancarkan oleh Gronya di depan media, tak merepresentasikan atau mewakili sebagian dirinya. Karena ia masih menyimpan luka akan kehilangan ayahnya yang tercinta.
Peristiwa kehilangan ayah oleh Gronya juga mewakili mereka yang saat ini atau waktu yang lalu sudah kehilangan salah satu orangtua mereka.
Sedih tentu saja sedih. Akan tetapi, kehidupan terus berjalan. Jika kita memilih untuk bertahan dengan luka batin masa lalu. Kita pun tidak akan menikmati berkat hari ini, esok dan waktu yang akan datang. Begitulah poin penting yang kita pelajari dari pebulu tangkis Australia, Gronya Somerville dalam membangun karirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H