Apa pun  kita bisa ubah dalam kehidupan. Namun ada satu hal yang tidak bisa kita ubah yakni karakter, termasuk tulisan kita, (Fredy Suni).
Karakter memiliki peran vital dalam perjalanan karir kita. Jika kita tipikal orang yang temperamental, itulah gaya hidup kita. Jika, kita tenang mendayung, antara ada dan tiada, itulah sejarah hidup kita.
Begitulah pun dengan gaya kepenulisan kita. Sejak 7 tahun silam, saya sudah mengirimkan hasil tulisan saya di beberapa majalah. Dari sekian banyak perjuangan saya, hanya ada satu Majalah yang menerima hasil tulisan saya.
Euforia saya ketika melihat hasil karyaku dikonsumsi oleh banyak orang adalah merasa bangga.
Apa sih yang dibanggakan dari hasil karya tulisan?
Sebagai orang desa, ketika hasil karya tulisan saya dimuat oleh media cetak, tentu saya merasa bangga. Karena itulah cara saya memberikan "self reward" atau penghargaan terhadap diri sendiri.
Self reward bukan semata-mata kita ingin memanjakan diri. Namun, itulah cara terbaik untuk membangun komunikasi dengan diri sendiri.
Apa itu komunikasi dengan diri sendiri?
Komunikasi itu sangat beragam tipikalnya. Ketika kita duduk diam dan mendengarkan bisikan hati kita, di situlah kita sedang membangun komunikasi yang mesra/intim dengan diri sendiri.
Jika belum jelas, komunikasi dengan diri sendiri adalah bagian dari kontemplasi atau meditasi yang biasanya dilakukan oleh orang-orang hebat sebelum dan sesudah beraktivitas.
Hubungan Komunikasi dan hasil karya Tulisan
Melalui percakapan mesra dengan diri sendiri, kita tahu dan sadar bahwasannya apa yang sudah kita lakukan atau sedang dan nanti kita lakukan harus memberikan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Apalagi kita sudah memiliki panggung sendiri dalam mengembangkan hobi kita di Kompasiana. Sebagai pengulik aksara, apa pun hasil karya kita itu tidak terlepas dari latar belakang masa lalu kita.
Selain latar belakang masa lalu kita, ada karakter yang selalu kita tonjolkan dalam setiap hasil karya tulisan kita.
Sebagai pendekatan konkrit tentang pengalaman saya. Masa lalu saya memang tidak dipisahkan dari dunia "Humaniora." Setiap hari saya selalu bersentuhan, mendekap, meraba dan menjalani kehidupan dalam komunitas yang menampilkan wajah Kebhinekaan Tunggal Ika.
Komunitas telah membentuk karakter saya untuk selalu mencintai dunia humaniora. Karena visi dan misi dari komunitas yang saya jalani itu berorientasi untuk memanusiakan manusia. Terlepas dari apa pun latar belakangnya. Karena kita memiliki kesamaan dalam berinteraksi sosial dan juga dari rahim seorang ibu yakni "Indonesia Raya."
Bertahun-tahun saya diformat, dipress dengan ilmu humaniora. Dari sanalah karakter saya, terutama tulisan saya yang bernuansa humaniora pun muncul. Karakter itulah yang saya bawa sebagai bekal dalam menjalani kehidupan.
Terakhir, karakter saya yang condong kepada ilmu humaniora akan selalu hidup dan ngalir dalam tetesan darah saya dalam berkarya. Meskipun, saya berjalan di luar tembok humaniora. Namun, magnetik ilmu humaniora selalu memiliki konektivitas yang kuat dalam kehidupanku.
Hasil karya tulisan saya di majalah selalu bercita rasa humaniora dari 7 tahun silam hingga hari ini.
Sobat, inilah coretan jejak langkah saya. Lantas, bagaimana dengan diary kamu hari ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H