Komunikasi memiliki peran penting dalam interaksi manusia. Akan tetapi, jika seandainya kamu adalah penderita Covid, lantas model komunikasi yang efektif kepada orang-orang tercinta itu seperti apa?
Setiap hari kita selalu mendengar, mengamati, mencium bahkan merasakan penyakit Covid itu sendiri. Umumnya, kita memilih untuk bersikap bodo amat! Karena "common sense" atau akal sehat kita sudah tidak bisa berpikir jernih lagi.
Ketika kita berada di dalam fase kebimbangan tersebut, kecenderungan kita adalah ingin mengakhiri kehidupan kita sendiri. Aneh tapi itulah yang mungkin saja dialami oleh mereka yang menderita Covid.
Disposisi atau Keadaan Batin Penderita Covid di Tengah Kehidupan Sosial
Seseorang yang belum terpapar Covid, tentu ia akan menjalani kehidupan dengan penuh optimis. Apalagi mereka yang sudah berkeluarga. Keceriaan itu akan hilang begitu saja, dikala seseorang mengidap penyakit Covid.
Disposisi atau keadaan batin penderita Covid berada pada dua lempeng kehidupan yakni kecemasan dan perjuangan.
Kecemasan
Cemas adalah hal lumrah yang kita alami dalam kehidupan kita. Komunikasi penderita Covid tidak begitu ngalir seperti sebelum menderita. Pemicu dari kondisi psikologis penderita Covid adalah lingkungannya.
Lingkungan adalah pusat interaksi manusia untuk saling berbagi apa saja dalam kehidupan. Termasuk menyebarkan urusan dapur tetangga pun kita sudah pernah melakoninya.
Penderita Covid tak berbeda dengan seseorang yang terdampar di tengah hutan belantara. Meskipun pada kenyataannya, penderita Covid hidup dalam lingkungan masyarakat.
Ketika penderita Covid menjalani masa isoma (isolasi mandiri), tentu ribuan kecemasan akan menggerogoti kesehariannya.
Pancaran sinar bola matanya selalu berurai penyesalan dan harapan akan kesembuhan. Sementara, orang-orang terdekatnya akan menjauhinya.