Ketika kita melihat sesama memamerkan barangnya di media sosial, kita pun ikut-ikutan. Akibatnya, kita terjerumus ke dalam budaya hedonisme.
Budaya hedonisme lahir dari genjotan iklan dan ajang pamer-pameran di media sosial. Ya, karena kehadiran media sosial bukan hanya untuk tujuan komunikasi, melainkan sebagai pasar dan ajang eksistensi diri.
Bagaimana perasaan kita, setelah memiliki banyak barang?
Setiap orang punya asumsi dan persepsi yang berbeda. Namun, pada umumnya kita merasa menyesal dan tersiksa dengan kelebihan barang.
Karena potensi kurasi emosi semakin besar setiap kali kita melihat tumpukan barang-barang yang berantakan di area rumah kita. Rasanya pingin melenyapkan barang-barang yang tak berguna. Namun, gegara barang pemberian mantan, kita pun menjaga dan merawat, bahkan orang lain pun tak boleh menyentuhnya. Apalagi memecahkan dan merusaknya. Makin runyam dunia.
Seolah-olah kemanusiaan lebih rendah daripada barang pemberian mantan. Nah untuk itu, kita perlu mengubah pola pikir kita dengan sedikit memiliki barang, tapi bisa memberikan kepuasan batin dan meningkatkan kadar kebahagiaan kita.
Kita tak perlu menunggu kematian dan tinggal di surga seperti ceramah guru-guru spiritual di atas mimbar baru kita merasakan kebahagiaan. Karena guru spiritual pun belum tentu dan tidak pernah melihat surga.
Untuk itu, mari kita menikmati hidup minimalis dengan memiliki barang yang secukupnya, tapi mempu menghadirkan pelangi kebahagiaan bagi keseharian kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H