Di setiap sudut-sudut kota, pembicaraan tentang literasi membaca masif digaungkan oleh siapa saja. Sementara generasi desa selalu membicarakan bagaimana hasil tangkapan ikan di sungai? Apa yang dilakukan di hutan? Bagaimana perasaan anak-anak desa dikekang oleh orangtua untuk memuaskan dahaga hewan peliharaannya?
Literasi membaca generasi kota dan desa ibarat bumi dan langit. Langit metropolitan menghadirkan beragam fasilitas taman bacaan. Sementara generasi di desa selalu bersentuhan dengan alam bebas untuk berteriak, bermain, dan mencari kepuasan batin.
Berbicara mengenai literasi membaca di hari buku nasional yang kita peringatin kemarin, sungguh paradoks dengan generasi desa. Khususnya di desa saya. Karena di sana masih  kekurangan bahan bacaan.
Jangankan membaca buku, berbicara hari buku nasional pun mereka tidak tahu. Ya, karena sumber untuk mengetahui informasi sangat terbatas. Akan tetapi, pola pikir mereka sudah familiar dengan alam bebas.
Khususnya di desa Haumeni, alam dijadikan untuk melatih vokal dengan cara berteriak dari perbukitan yang satu menuju yang lain. Dari padang sabana yang satu menuju padang sabana yang lain.
Begitulah ritme keseharian generasi di kampung halamanku. Masa depan mereka yang berputar di balik pegunugan yang asri dan indah, sejauh mata memandang.
Dalam buku " Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat' karya Mark Manson mengatakan budaya kita hari ini secara konstan mengajak kita untuk meningkatkan budaya "lebih." Lebih, lebih dan lebih dalam segala hal. Lebih banyak membaca buku, lebih berpendidikan, lebih bermartabat, lebih berbudaya.
Padahal kenyataan setiap hari, kita pun stuck atau terjebak di tempat. Gegara budaya kita yang selalu memaksakan kehendak untuk menjadikan kita lebih dari yang lain.
Bagaimanapun juga, kita memiliki kelemahan. Sadar atau tidak, setiap hari kita dibombardir dengan ajaran positif dari setiap orang. Dan seolah-olah kita ingin mengingkari kelemahan kita. Ibarat semakin lama kita semakin menolak untuk meninggal. Padahalan siapa pun dari kita pasti melalui jalur kematian.
Terkait literasi membaca, masa kecil saya pun tak begitu menyukai kegiatan membaca. Kalau pun ada kesempatan, saya berkunjung ke rumah tetangga, sembari  membaca majalah rohani dari Seminaris.
Kegiatan membaca saya tekuni 6 tahun lalu. Karena paradigma atau pola pikir/ metodologi orang kampung lebih memilih untuk menikmati alam, ketimbang membaca buku.
Kisah itu adalah masa lalu saya. Sekarang saya sudah mengubah pola pikir demikian. Karena dengan membaca saya pun bisa menambah wawasan. Untuk itu, saya tidak mau generasi di kampung halamanku terus berada dalam pola pikir primitif.
Melainkan mereka harus lebih baik dari saya dan generasi sebelumnya. Dengan membaca, apa yang belum kita ketahui, perlahan-lahan, tapi pasti kita ketahui. Karena membaca adalah kegiatan pengulangan.
Semakin lama kita mengulangi sesuatu, alam bawah sadar kita pun sudah terbentuk untuk mengikuti ritme demikian. Untuk itu, saya selalu memotivasi diri untuk membaca setiap hari. Entah melalui buku, portal online dan dari mana saja. Tujuannya hanya satu yakni semakin mempertajam pengetahuan saya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI