Kolaborasi dari mitos, takhayul dan logika sesat adalah cerita atau kisah menarik dari kampung halaman saya. Terutama cerita yang sangat menakutkan di balik pohon asam yang berukuran kecil (Kiu Ana).
Secara etimologis, "kiu ana dibagi dalam dua kata yakni kiu dan ana. Kiu dan ana berasal dari bahasa dawan. Â Dawan adalah salah satu etnis yang menghuni Timor bagian Barat. Terutama Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), NTT.
Kiu yang berarti pohom asam dan ana yang berarti berukuran kecil. Secara harfiah atau umum, kiu ana berarti pohon yang berukuran kecil. Meskipun pada kenyataannya, pohon asam itu sangat besar. Ya, tapi sesuai dengan penyebutan secara lisan oleh masyarakat di kampung halaman saja yakni kiu ana.
Saya pun masih bingung mengapa disebut kiu ana? Padahal secara logika, pohon asam memiliki ukuran yang besar.
Kisah menakutkan di balik kiu ana sudah ada sejak nenek moyang saya. Konon diceritakan bahwasaanya, kiu ana dihuni oleh setan. Ya bisa diterima oleh akal sehat. Karena letak geografis kampung halaman berada di lereng perbukitan yang sangat asri dan indah bila dipandang dari ketinggian.
Selain itu, letak kiu ana berada di pinggir jalan yang dikelilingi oleh pohon pates peninggalan zaman penjajahan Belanda. Sesuai dengan penuturan kakek dan nenek moyang suku Dawan, terutama yang berasal dari kampung halaman saya, setiap orang harus berhati-hati bila melewati kiu ana di tengah malam.
Bukan hanya itu, di siang bolong juga, kita diperingatin untuk berhati-hati melewati sepanjang jalan kiu ana. Karena di situ sangat rawan terhadap kecelakann mobil.
Berjalan sendiri melewati kiu ana tidak dianjurkan. Karena itu sangat berbahaya bagi keselamatan diri sendiri.
Lalu, apa saja tanda-tanda untuk mengenal keangkeran kiu ana?
Salah satu tanda yang sudah diketahui oleh masyarakat di kampung saya adalah merasakan aroma masakan ayam atau dalam bahasa Dawan adalah "nafo sis manu". Bukannya kita lapar, tatkala mencium aroma masakan ayam, eh malah kita ditakutin.
Dikala mencium aroma masakan ayam, bulu kuduk kita akan ikut berdiri. Kita pun serasa berada di kandang labirin. Mirip zombe atau film horor. Saya pun pernah merasakan aroma masakan ayam. Dan memang buluk kuduk ikut berdiri.
Nah, untuk menjaga keselamatan diri, kita dianjurkan untuk selalu membawa paku, gunting dan korek api.
Mengapa masyarakat di kampung saya sangat yakin akan mitos tersebut?
Karena sedari kecil, kisah atau cerita lisan ini sudah kita dengar. Berangkat dari tradisi lisan yang dituturkan dari mulut ke mulut, secara sadar atau tidak, alam bawah sadar kami sudah dicuci. Ibarat pencucian otak untuk ikut menyakini mitos tersebut.
Kisah angker kiu ana sewaktu saya masih berada di kampung halaman memang menjadi menu atau cerita yang digandrungi oleh teman-teman saya. Dan hingga sekarang, masyarakat di kampung halaman saya masih menyakini kisah tersebut.
Kapan waktu yang tepat untuk mengubah mindset masyarakat di kampung halaman saya?
Soal waktu saya tidak bisa pastikan dengan jelas. Karena cerita itu sudah tertanam kuat dalam diri setiap orang. Dan untuk mengubah mindset masyarakat di kampung halaman saya tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Saya berharap, semakin banyak generasi sekarang yang memiliki pola pikir logis, perlahan-lahan kisah atau mitos angker di balik kiu ana bisa terputus.
Bagaimana cara saya menyikapi mitos angker di balik kiu ana?
Dulu saya juga sangat yakin akan kisah mitos angker di balik kiu ana. Tetapi, semakin banyak hal yang saya pelajari, sedikir-demi sedikit, saya menyakini itu hanyalah masalah mindset. Sebagaimana yang saya utarakan bahwasannya kisah itu tak lain adalah pencucian otak sejak zaman nenek moyang.
Tentunya saya bukan melupakan sejarah atau kebudayaan saya. Tapi, seenggaknya saya bisa berpikiran logis. Bagaimana pohon asam yang memberikan manfaat bagi manusia ikut dimanipulasi oleh segelintir orang untuk mencapai tujuan mereka.
Ya, terlepas dari setiap tumbuhan memiliki penghuninya. Tapi, saya yakin dan percaya, sejauh kita tidak melakukan hal-hal di luar kendali kita, relasi antara manusia dan tumbuhan akan tetap terjaga dalam kondisi apapun. Inilah yang disebut sebagai hukum timbal balik semesta. Apa yang kita berikan, itulah yang kita tuai di hari esok dan lusa, sesuai dengan ajaran Filsafat Kosmologi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H