Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis || Pegiat Konten Lokal NTT || Blogger Tafenpah.com

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group || Jika berkenan, mampirlah di blog saya Tafenpah.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mengenang Wajah Papa dan Mama

19 April 2021   09:08 Diperbarui: 19 April 2021   09:23 902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengenang wajah papa dan mama. Foto dari Hellosehat.com

Setiap orang bebas mengenang masa lalu, tapi kita tak pernah melawan waktu.

Waktu berlalu dengan cepat, tanpa sadari tahun demi tahun kita menghabiskan separuh hidup kita dalam masa pencarian. Setiap orang sibuk mencari kebahagiaannya tersendiri. Hingga kita melupakan kesunyian dan ketentraman di desa tercinta.

Setiap tahun kita selalu berlomba-lomba untuk mencari penghidupan yang layak di kota metropolitan. Adapun orang yang rela menyeberang jauh dari bumi pertiwi. Jauh dan dekat itu bukanlah urusan kita. Karena setiap orang bebas menentukan tujuan hidupnya.

Ramadan kembali menyapa, alam bawah sadar kita ikut dibangkitkan. Bersyukur bila hingga kini orangtua kita masih lengkap. Tapi, akan menjadi sedih, bila salah satu dari orangtua yang kita cintai sudah pergi menghadap Tuhan.

Stimulus atau rangsangan untuk kembali mengulangi masa-masa terindah saat Ramadan bersama orangtua di kampung halaman, kini dibatasi dengan Pandemi. Meskipun salah satu orangtua kita ada yang sudah meninggal, tapi seenggaknya kita bisa mengunjungi makam mereka, sebagai tanda syukur atas apa yang mereka sudah lakukan dalam hidup kita.

Pengalaman berjumpa, ber-say-hello, canda tawa yang lepas dalam lingkaran keluarga, ikut membangkitkan kenangan terindah itu. Rasanya ingin kembali mengulangi masa-masa kejayaan bersama keluarga tercinta. Tap, kita tak bisa melawan hukum semesta.

Suasana canda tawa bersama keluarga. Foto dari Alodokter.com
Suasana canda tawa bersama keluarga. Foto dari Alodokter.com


Sebagai non-Muslim, setiap perayaan Hari Raya Besar antar umat beragama di bumi pertiwi, saya selalu mengenang wajah papa dan mama yang berada di kampung. Namun, semakin bertambahnya usia saya, saya pun disibukkan dengan kesibukan tersendiri. Bahkan kini saya berpisah dengan mereka ribuan bahkan jutaan mil jauhnya dari garis pantai.

 Papa dan mama walau anakmu kini berjuang di tanah rantau, tapi rindu ini tak bisa dilawan. Meskipun senyum wajahmu selalu terpancar, bagaikana mentari pagi, namun di dalam lubuk hati terdalam, rasanya pingin ngumpul bareng lagi.

Papa dan mama, saya tak bisa merayakan liburan tahun ini bersama kalian di kampung halaman. Karena perjuanganku masih berat dan berliku-liku di tanah rantau.

Beratnya kehidupan, tak menyurutkan bahkan mengikis rindu yang kian memberontak dalam dada ini. Papa dan mama anakmu selalu mendoakan kalian baik-baik saja di seberang sana.

Memori Ramadan yang khas di masa kecil bagi saya adalah ikut merasakan saudara-saudara yang merayakannya. Terutama beberapa ABRI yang bertugas di daerah saya. Kala itu, sebagai anak ingusan, setiap Ramadan, mereka selalu bersilahturahmi kepada keluarga kita. Sebaliknya kita pun kembali mengunjungi mereka.

Open house yang diadakan oleh para ABRI setiap kali merayakan Ramadan di kampung halaman saya sangat membekas. Yang paling menyita mata dan maunya anak-anak ingusan adalah saat berbuka puasa.

Karena ada pengganti menu dari keseharian di rumah. Saya dan teman-teman masa kecil, berlarian melintasi padang rumput, sembari berteriak bebas di alam terbuka. Terkadang suara teriakan kami kembali dipantulkan oleh pegunungan yang mengapit kampung halaman saya.

Berlraian di padang, sembari berteriak bebas. Foto dari Klikdokter.com
Berlraian di padang, sembari berteriak bebas. Foto dari Klikdokter.com


Rasanya indah dan melankolis banget. Layaknya di novel "Laskar Pelangi." Karya Andrea Hirata. Kini, Ramadan kembali, suasana pun sangat berbeda. Karena setiap orang masih berjuang untuk keluar dari dirinya sendiri dan keadaan yang semakin menjepit di tengah Pandemi.

Papa dan mama, walau jarak telah memisahkan kita, tapi koneksi batin selalu terjalin melalui jaringan nirkabel dasar laut. Lebih-lebih lewat untai doa yang anakmu panjatkan setiap hari.

Bagi kamu saudaraku umat Muslim yang sudah kehilangan salah satu anggota keluarganya, dari lubuk hati yang terdalam, saya mintaa maaf. Karena saya tak bermaksud untuk mengorek kembali luka yang sudah lama terpendam.

Terima kasih untukmu saudaraku umat Muslim, terutama para ABRI yang hingga saat ini masih bertugas di kampung halaman saya. Selamat menjalani bulan berkah ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun