Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis || Pegiat Konten Lokal NTT || Blogger Tafenpah.com

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group || Jika berkenan, mampirlah di blog saya Tafenpah.com

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Sok Akrab di Chatting dan Menjadi Asing Tatkala Bertemu

19 April 2021   00:39 Diperbarui: 19 April 2021   01:09 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendekatkan yang jauh, lalu menjauhkan yang dekat.


Sebagai eks Seminaris (Katolik), saya merasa canggung saat kencan pertama dengan tambatan hati.

Hidup selama hampir 6 tahun menimba ilmu di dalam Biara (Seminari), ruang gerak saya hanya berputar pada Kapel (Gereja mini), ruang makan, perpustakaan, ruang musik, Lab bahasa, opus manuale (bahasa latin yang berarti kerja tangan), silentium (Latin:keheningan), serta bejibun pelayanan sosial dan kursus pengembangan softskill dan hardskill.

Belum lagi sharing pengalaman Misionaris (Imam Katolik) yang mengemban tugas di benua Eropa, Amerika, Afrika, Australia dan Timur Tengah, turut mengerdilkan keinginan untuk mengenal lawan jenis.

Eits, bukan berarti tak normal ya. Tapi, tujuan utama dari kehidupan membiara adalah membentuk karakter (karakter building) dan pacaran itu dilarang loh. Meskipun zaman sekarang, sudah banyak yang main kucing-kucingan sih, hihihih.

Ah, bodoh amat. Kata mark Manson dalam bukunya yang berjudul "Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat." Tapi bukan bodoh amat soal perasaan ya. Soalnya Seminaris (Frater)juga manusia yang butuh kasih, cinta, perhatian dan "say-hello" dari gebetannya.

Aih, daripada saya semakin menahan rasa sakit dan perih di dalam untuk berpacaran di balik tembok Biara, mesndingan saya ajuin surat pengunduran diri. Saya beruntung sebelum mengundurkan diri, saya discerment (teknik mengambil keputusan ala Seminaris).

Tatkala berada dalam pergolakan batin. Bukan pergolakan revolusi prancis ya. Saya menemukan kata-kata yang sederhana dari salah satu penulis Islam moderat yakni, Ahmad Rifa'i Rif'an yang mengatakan bahwa," munafik bila raganya menjalani sesuatu, tapi jiwanya selalu menolak.

Tersadarlah saya di bawah pohon belimbing. Bukan pohon tomat ya. Tanpa berpikir panjang, hari itu saya langsung menulis surat pengunduran diri, tembusan Formator, Pater Provinsial SVD Jawa (Pemimpin tertinggi Kongregasi Serikat Sabda Allah/Societas Verbi Divini (Latin)/Society of the Divine Word, khususnya di daerah Jawa.

Setelah seminggu, saya menerima surat resmi dari Roma, meskipun katalog SVD, nama saya masih ada hihihi. Saya mulai berkelana, mengikuti ke mana suara hati membawaku.

Mengenal Gebetan


"Sok akrab di chatting, menjadi asing, tatkala bertemu." Saya mulai berkenalan dengan salah satu gebetan yang membuat hati berdetak kencang, tatkala melihat foto profilnya di medsos. Orangnya mirip artis Korea, bahkan bintang-bintang Korea pun tak bisa menandingi kemolekannya.

Anyway, kami mulai kenalan. Semakin lama, rasa penasaran, layaknya para filsuf dan inteligen FBI yang sedang mengendus terorisme. Apa pun yang berkaitan dengan gebetan itu, saya tanyain. Hanya satu saja yang tak bisa saya tanyain yakni ukuran sepatunya.

Begitu pun dia. Chemestry mulai terjalin, walau melalui jaringan nirkabel dasar laut. Siang malam panggilan favorit dan terpopuler sejagat adalah bebs, honey. Segala kegiatan yang dilakukannya pasti diberitahukan kepada saya.  Seolah-olah saya adalah pejabat desa yang sedang mengumpulan data warga.

Syukur pergi buang hajat ngak diberitahu, aduhaiiiiii mamamia. Bahkan saya jatuh pada sindrom medsos, yakni mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.

Bayangkan orang-orang yang ada disekitarku, saya anggap orang lain dan mereka tidak penting. Yang menjadi prioritas utama saya adalah dia yang berada di nun jauh sana. Walaupun saya minta jajan dan kuota internet pada mereka yang setiap hari berada di sekitarku.

Di chatting kita berdua sok akrab, padahal belum berjumpa sekali. Niscaya, one day kita berjumpa di salah satu kafe. Kafenya romantis banget. Sampai-sampai saya ngiler lihat orang berpelukan, di balik remang-remang lampu malam di pinggir pantai.

Sementara saya dan dia hanya duduk terpaku menatap langit dan deburan ombak. Sembari di dalam hati selalu berharap, siapa yang mulai membukan percakapan. Sejak perjumpaan malam itu, istilah-istilah bebs,honey dan kata-kata romantispun tak kedengaran lain.

Silentium magnum (tak ada yang bicara). Notifikasi pun tak berkejaran lagi. Artinya rasa sayang sudah tak ada lagi. Kencan pertama yang tak romantis. Antara aku dan dia sama-sama ilfeel. Hingga hari ini, kita pun kehilangan kabar. Entah di mana rimbanya, saya tak tahu ke mana angin membawanya pergi!

Boleh mendewakan yang di ada di seberang, tapi bukalah hatimu untuk mendengarkan orang-orang tercinta yang ada di sekitarmu.

Edisi curhat bebas. Terima kasih Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun