Tanah adalah harta yang paling berharga bagi suku Timor Dawan, khusunya di kampung halaman saya. Memiliki tanah berarti masa depan cerah. Tanah bisa diolah dan disulap jadi apa saja. Tergantung dari kreativitas setiap keluarga.
Warisan tanah peninggalan kakek dan nenek adalah hal yang paling riskan memicu terjadinya pertengkaran antar saudara kandung. Lebih sadisnya, masalah kepemilikan hak atas tanah bisa menimbulkan pertumpahan darah antar saudara kandung. Ngeri kan?
Agar terkesan tidak ngomong kosong, karena zaman edan ini kita berbicara harus menyisipkan data. Biar terkesan intelektual. Aih, bulshit. saya akan mengisahkan masalah pertengkaran ayah dan saudara kandungnya.
Keluarga ayah saya berjumlah 8 orang. Lumayan kan? Dari 8 orang ini ada yang hidup berpencar di kota. Karena ke mana suara hati membawa mereka, mereka tak bisa menolaknya, demi dapur tepat ngepul.
Ayah saya sebagai bungsu dititipkan untuk menemani kakek dan nenek hingga ajal menjempul. Sebagai anak bungsu, tentunya ayah saya tak bisa menolak mandat yang diberikan oleh kakaknya.
Aih gara-gara saja, istilah mandat, layaknya pejabat nih. Ya, lebih tepatnya ayah saya sebagai pejabat kampung. Terutama dalam merawat kakek dan nenek.
Benih-benih pertengkaran mulai terendus antara ayah saya dan saudaranya yang lain. Pemicu utamanya adalah masalah warisan tanah. Meskipun ayah yang merawat kakek dan nenek di kampung, tapi warisan tanah yang diberikan kepada ayah saya, tak sebanding dengan saudaranya yang lain.
Ayah tak banyak protes. Seolah-olah tak ada masalah yang ia hadapi. Padahal hatinya hancur berkeping-keping, beririsan dengan kepergian almarhum kakek dan nenek.
Hidup adalah perjalanan. Ayah saya tak mungkin mengais apa yang sudah berlalu. Ayah terus menatap ke depan, terutama kepada pendidikan karakter building saya dan adik-adik.
Beberapa tahun kemudian, ayah saya terlibat pertengkaran seru dengan saudara kandungnya yang lain. Gegara kakak ipar dari ayah saya mulai mencari sensasi seputar warisan tanah.