Tak lama kemudian, orangtua Winda melihatku dari kejauhan. Lalu, mereka menghampiriku.
"Kamu ngapain ke sini?"
"Aku ke sini hanya untuk mengucapkan selamat perpisahan sekaligus ikut berbahagia atas pernikahan Winda." Bahagia dalam penderitaan (celoteh dalam diriku).
"Tak perlu kamu ke sini! Karena kami sudah memutuskan pasangan yang seiman dan terbaik bagi Winda."
"Maaf, aku bukannya mau mengajarkan kepada Bapak dan Ibu, tapi cinta itu tak mengenal status apapun."
"Ah, itu teori yang tak berguna di dalam kehidupan nyata." Bentak orangtua Winda."
"Aku berhati-hati untuk meladeni amarah dari orangtua Winda, sembari mengamati keadaan sekitar, tatkala mereka mengusir aku dari acara pernikahan Winda.'
"Sekali lagi ya, kami tegaskan, Winda sudah menemukan pasangan yang serasi. Jadi, kamu berhenti untuk mengejarnya!"
"Tapi, aku sangat mencintai Winda!"
"Memangnya, setelah nikah, kamu mau kasih makan anak kami dengan cinta? Hey, pernikahan itu bukan hanya soal cinta, tapi soal makan dan minum."
"Tapi, pernikahan tanpa cinta adalah penyiksaan terberat bagi siapapun, termasuk Winda."
'Alah, jangan sok bijak di depan kami, anak muda!"
"Aku bukan sok bijak, tapi itulah kenyatann hidup."
"Memangnya kamu sudah berkeluarga?"
"Tentunya belum. Tapi, aku melihat dan belajar dari pengalaman keluarga yang berada di lingkungan sekitarku."
"Anak muda, sekali lagi, tolong pergi dan jangan mengacaukan pernikahan Winda!"
"Tapi, sebelum aku pergi, izinkan aku untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Winda.'
"Nanti kami sampaikan. Dan mohon maaf, kami tidak merestui hubungan kamu dengan Winda. Karena pada dasarnya, kalian berbeda budaya, bahasa, ras dan golongan."
Aku merasa didiskriminasi pada malam itu. Tapi, aku mencoba untuk melihat dari sisi orangtua yang mengharapkan kehidupan yang terbaik bagi anaknya. Barangkali kesusahan mereka di zaman lampau, menajadi pelajaran berharga bagi mereka untuk seektif dalam memilih pasangan yang sepadan dengan anaknya. Tujuannya adalah anaknya tidak mengalami nasib yangs serupa dengan mereka.
Jalan rekonsiliasi yang sebelumnya ingin aku bangun bersama Winda dan orangtuanya ambyar. Semua itu karena masalah perbedaaan kepercayaan.
Aku memutuskan untuk pergi merantau ke kota lain lagi. Tujuannya untuk melupakan kenangan indah bersama Winda. Winda hanya menatap kepergianku pada malam perpisahan itu.
Sementara orangtua Winda tak menghiraukan kepergianku. Malah mereka senang, tak ada yang mengganggu pernikahan anaknya.
Cinta memang tak mengenal dari mana kita berasal. Di mana kita bertemu dan menjalin komunikasi dan perjumpaan yang intens, di situlah cinta bersemi. Tapi, pada kenyataannya, kisah cinta beda agama di dalam kehidupan bermasyarakat kita masih menjadi hal terlarang dan sulit untuk dijalani. Pada, perbedaan itu unik dan indah.