"Say-hello" antara aku dan Winda yang tersaji di hari itu memang meninggalkan bekas kerinduan di hari-hari tergelap berikutnya. Karena perjumpaan itu, sekaligus sebagai perjumpaan terakhir kami.
Winda akan segera dinikahkan dengan lelaki pilihan orangtuanya. Aku ingin berontak, layaknya filsuf eksistensialisme Albert Camus,"Aku memberontak, jadi aku ada." Tapi lidah ini teras kaku dan tidak bisa berbuat apa-apa. Selain, menahan jeritan suara yang sangat menyakitkan.
Purnama masih menghiasi jantung kota Metropolitan Surabaya, dari balik jendela kamar Hotel, aku mendendangkan satu lagu untuk melepaskan kepergian Winda. Di antara megahnya kelap-kelip kota Surabaya pada malam hari, aku merana dan menyalahkan diri sendiri.
Goresan asmara terlarang yang pernah aku jalani. Di setiap sudut-sudut kota Surabaya, aku menyaksikan Ibu Tri Rismaharini menata dan menghiasi kota Suarabay dengan rapi, bersih dan nyaman bagi siapapun. Tapi, mengapa hatiku tidak nyaman untuk tinggal lebih lama di kota Surabaya?
Aku menghabiskan masa pencarian di kota Surabaya dalam suasana ketidakpastian akan langka kakiku ke depan. Harapan dan cintaku sudah dikuras habis oleh orangtua Winda yang suka mempermainkan cinta suciku.
Lalu, aku memutuskan untuk menghadiri undangan pernikahan Winda dan lelaki pilihan orangtuanya di kota Kediri. Tapi, aku tak punya nyali untuk melihat orang yang aku cinta, duduk bersanding dengan lelaki yang ia tidak cintai.
Nantikan kisah lanjutannya hanya di Platform Kompasiana pembaca budiman. Kira-kira dramatisasi apa yang akan tersaji di saat pernikahan Winda dan lelaki pilihan orangtuanya? Apakah aku (tokoh utama) bisa membatalkan acara pernikahan itu? Ataukah tokoh utama akan mengadakan jalan rekonsiliasi dengan orangtua Winda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H