Sambungan dari Cinta Terlarang di Kota Tulungagung
Kediri -- Bau cerobong asap masih sangat kental di batang hidungku. Aku berusaha untuk mengikuti jejak wanita paruh baya di pinggir rel Kereta Api.
Meskipun aku tahu bahwasannya kisah cinta terlarang aku dan Winda ngak akan bersatu. Karena pada prinsipnya, aku dan ibunya Winda sudah berbeda. Bukankah perbedaan itu indah? Tanyaku dalam hati. Pertanyaan subjektif ini selalu memenjarakan anganku.
Tapi, ada benarnya sih, bahwasan perbedaan itu indah. "Pelangi itu indah karena banyak warna. Manusia itu sempurna karena banyak karakter. Indonesia itu ada karena banyak budaya, bahasa, dan ras. Yang terpenting bagi pelangi, manusia dan Indonesia adalah saling menghargai."Â (Quote novel Terjebak Fredy Suni).
Apa yang indah dan menarik bagi aku, belum tentu bagi orang lain. Sama halnya, apa yang aku ulik dan tata, belum tentu disukai oleh pembaca. Karena perbedaan cara pandang, minat dan alasan tersendiri. Begitupun apa yang diinginkan oleh ibunya Winda.
Aku masih mengibas sisa-sisa keringat di salah satu perkampungan kota Kediri. Di sepanjang jalan aku selalu bertanya, layaknya filsuf Martin Heidegger yang selalu mempertanyakan rasa kegelisahannya terhadap filsuf perempuan berpengaruh abad 20 yakni Hannah Arendt.
Perbedaannya kisah cinta filsuf Martin Heidegger dan Hannah Arendt itu adalah skandal. Karena Martin Heidegger adalah guru atau dosennya dari Hannah Arendt. Sementara, kisah cinta aku dan Winda dibatasi oleh tembok humanisme agama.
Tatkala cakrawala membelah indahnya perkampungan kota Kediri, aku terus mencari rumahnya Winda. Dari puluhan bahkan ratusan petunjuk yang aku dapatkan dari warga sekitar, tiada satupun jawaban yang memuaskan aku. Aku hanya mengandalkan peta kecil yang ditinggalkan oleh Winda, sebelum resign dari Toko Roti. Tapi, aku kewalahan untuk membaca arah peta. "podo wai" atau sama saja seperti wanita yang pada umumnya tidak dapat membaca peta dengan jelas. Terang salah satu mantan Dosen Politik Timur Tengah, sewaktu aku masih kuliah.
Meretas asa menuai romantika di salah satu gunung yang ada di kota Kediri. Mataku bertautan erat dengan indahnya panorama alam yang asri dan menyejukan hati. Sembari aku bertanya di salah satu pasangan sejoli muda yang bermesraan di bawah pohon beringin.
"Nyuwun sewu mas, boleh enggak aku bertanya?