Pro dan kontra menjadi menu terlezat yang disajikan oleh Media Massa setiap hari. Bahkan pemberitaan seputar kemiskinan dan ketimpangan pelayanan publik dikesampingkan, demi meraup rupiah dari wacana terheboh dan terkeren pemindahan ibukota provinsi Sophia.
Sementara dalam koridor polemik atau perdebatan, datanglah tamu yang tak diundang, yakni penyakit sampar yang melanda dunia. Efeknya turut melemahkan segala aspek kehidupan di dalam ruang publik.
Situasi dan kondisi (Sikon) ini dimanfaatkan oleh aliran kanan atau penganut sistem Patriarki untuk mendirikan benteng penyerangan kepada pemerintah pusat.
Tujuannya adalah mereka tak mau memindahkan ibukota provinsi ke distri Sum. Ya, alasan klise yakni zona nyaman mereka akan tergusur oleh kehadiran wajah baru di dunia pemerintahan provinsi Sophia.
Terciptalah dua kubu dan banyak lagi kasus yang sampai saat ini belum kelar. Kematian statistik terus meneror rakyat Sophia. Kaum skolastik adalah biang keladi dari penyakit Sampar ini. Mereka terus berteriar di balik tembok rumah mereka yang menjulang, menembusi langit malam kota Sophia.
Media massa sebagai penegah menjadi berbelot mengikuti aliran mesin ATM kaum skolastik. Sementara rakyat kecil menjadi korban. Bahkan mereka kehilangan keluarga, jati diri mereka, masa depan anak-anak mereka. Akibat propaganda statistik dari kaum skolastik yang hampir menguasai Media Massa.
Rakyat Sophia menderita dalam segala aspek kehidupan. Anak-anak menangis, orangtua pusing memikirkan cicilan rumah, mobil, motor, rumah dll. Kasus perceraihan makin meningkat. Orang gila jabatan makin meningkat pula. Provinsi Sophia berubah menjadi ikon konspirasi kaum skolastik penggila kekuasaan.
Setiap hari kematian statistik makin menjadi-jadi. Tujuan dari kematian statistik ini adalah untuk menggagalkan pemindahan ibukota provinsi Sophia ke distrik Sum.
Tatkala musim hujan tiba, rakyat Sophia masih menjadi abu-abu sekaligus bercampur emosi hitam-putih untuk menanti jawaban. Jawaban akan berakhirnya penyakit Sampar yang sangat mematikan.
3 tahun, penyakit Sampar masih menggerogoti kehidupan rakyat Sophia. Mereeka terus menunggu. Tapi, pekerjaan terberat bagi mereka adalah menunggu sesuatu yang tak pasti. Atau dalam istilah filsuf Albert Camus adalah bunuh diri filosofikal.
Bunuh diri filosofikal artinya mencari sesuatu yang tidak ada jawabannya. Nah, begitulah kisah penantian mereka akan kapan berakhirnya penyakit Sampar di kota Sophia.