Viral karena prestasi yang membanggakan keluarga, kampung halaman, bahkan negara sendiri adalah sesuatu yang sangat memiliki "value" atau nilai dalam kehidupan bersama. Tapi, viral karena ingin mencari ketenaran adalah hal yang sangat memalukan! Apalagi tokoh panutan dalam kehidupan bermasyarakat.
Akhir-akhir ini, banyak orang waras, termasuk saya ingin viral. Tapi, tak viral-viral. Astaga bang jago, ingat usia! Karena kamu bukan anak kecil lagi yang ingin mencari pusat perhatian! Bisikan suara hatiku, kembali menyadarkan saya dari lamunan yang sangat panjang di bawah pohon kelapa.
Barangkali saya tidak ditakdirkan untuk viral dengan cara yang memalukan. Anehnya, banyak sosok panutan yang tetiba menjadi viral di media sosial, Twitter karena cuitannya yang mengundang kontroversi.
Kontroversi budaya viral sudah menjadi ladang yang sangat menjanjikan di era digital. Lantas, apakah ke depan ada profesi baru yang lahir dari budaya viral? Jawabannya ya. Karena di dunia ini tidak ada yang mustahil. Di mana, hal yang tidak pernah terbayangkan, akhirnya menjadi kenyataan dalam hidup. Inilah misteri yang sulit dipahami dengan akal budi.
Produk akal budi dapat melahirkan profesi apapun. Terutama dalam setiap situasi. Sekilas kita melihat dunia Buzzer dan Influencer lahir dari era digital. Dan masih banyak lagi profesi yang belakangan ini digandrungi oleh siapapun.
Siapapun yang menjalani kehidupan di era digital, pasti terkontaminasi dengan pengakuan di dalam media sosial. Ketika tak ada pengakuan di dunia nyata, kebanyakan dari kita memilih untuk mencari pusat perhatian di jagat maya.
Sindrom ingin diakui di jagat maya, berakibat pada kemerosotan akal budi. Akibatnya, kita mencari sensasi, demi mendapatkan pengakuan di jagat maya.
Ketika kita sudah mendapatkan pengakuan di jagat maya, muncul lagi masalah baru. Rentetan kecemasan terus mengejar kita untuk semakin mencari pusat perhatian. Akibatnya, kita mengabaikan norma dan etika dalam kehidupan bersama.
Norma dan etika merupakan pedoman kita dalam melakukan sesuatu. Tapi, rasanya kita sudah tidak membutuhkan norma dan etika lagi. Karena, kita mematuhi norma dan etika hanya karena takut kena hukuman. Bukan berdasarkan kemauan dari dalam diri.
Dilematika ini memantik kontroversi dalam keseharian kita. Searah jarum jam dinding, saya mencoba untuk berkontemplasi, sembari menginterpretasikan perjalanan hidup saya seputar mematuhi norma dan etika dalam kehidupan bersama.
Dan ternyata, saya menemukan kejanggalan yang amat besar dalam diri saya. Bahwasannya, saya pun kerap kali terjerumus ke dalam budaya viral. Viral karena tulisan saya yang banyak omong kosong seputar diksi-diksi pencerahan.
Ya, ampun bago jago. Cukup lah. Karena menulis dengan emosi yang meledak-ledak, ketahuan banget loh. Apakah saya adalah bagian dari monster Sang Leviathan dalam konsep negara berdasarkan politik Thomas Hobbes? Ya betul. Karena dalam diri saya terdapat partikel atom monster yang sewaktu-waktu ingin menerkam saudaraku yang lain.
So, tak ada seorangpun yang melarang diriku dan anda untuk menjadi viral dalam setiap diksi-diksi kerinduan. Karena, hidup bukan tentu seberapa saya memotivasi orang lain. Tapi tentang bagaiaman saya menikmati produk akal budiku yang selalu liar dalam berlogika.
Terakhir, tulisan ini adalah autokritik untuk diri saya sendiri. Karena saya sudah terlalu mengulik sesuatu yang out of the box seputar penalaran logikaku yang selalu liar dalam situasi apapun.
Salam literasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H