Sejumlah tragedi yang menimpa bangsa Indonesia, turut melemahkan hati nurani kita. Hati nurani yang seharusnya menjadi lambang persaudaraan kita, kini terasa semakin menjauh dari kehidupan kita.
Kita saling menyebar teror, hoaks, ujaran kebencian antar pribadi dan golongan di dalam kehidupan bersama. Kita memasuki kematian hati nurani bangsa. Bahaya dari kematian nurani bangsa adalah tiada pengertian antar satu dengan lainnya.
Kita terus menggerogoti negara dan para pemimpin. Seolah-olah kita ini adalah pemilik surga. Segala sesuatu yang kita lakukan selalu berlandaskan pada surga. Memangnya kita ini sudah pernah melihat surga?
Lalu kita melihat yang lain sebagai pengganggu. Pengganggu yang seharusnya disingkirkan dan tidak diberi ruang untuk tertawa, berekspresi secara bebas dalam kehidupan bersama.
Andaikan kita tidak dipisahkan oleh ajaran apapun, kita akan tetap bersatu. Karena pada kodratnya, kita tidak pernah memilih untuk dilahirkan di daerah manapun. Kita tidak pernah memilih untuk tinggal di mana, bekerja di mana, menikah dengan siapa, menganut kepercayaan apa, menjadi pro atau kontra dalam bidang kehidupan apapun.
Problematika yang di atas adalah sumber dari super-ego kita. Bila ditilik dari ajaran psikolog sekaligus filsuf Sigmund Freud, kehidupan kita dilandasi oleh 3 hal, yakni id, ego dan super-ego.
Antara id, ego dan super-ego memiliki korelasi. Seirama harmoni melodi kata, suara dan tatapan mata kita kepada fenomenologis politik bangsa saat ini. Namun, sayangnya, di sini saya tidak mengulik ketiga masalah psikis menurut ajaran Sigmund Freud ya sobat.
Saya merasa tidak nyaman dengan politik sih. Tapi, bagaimanapun juga politik adalah pusat mati dan hidupnya suatu bangsa. Maju dan mundurnya suatu bangsa terletak pada sosok yang mengayomi, menginspirasi dan memiliki sikap netral dalam hubungan diplomatik antar negara. Bersyukur kita menganut paham Non-Blok atau politik luar negeri bebas aktif secara bertanggung jawab. Inilah kelebihan yang dimiliki oleh bangsa kita.
Sementara kelemahannya adalah kita yang merasa kesulitan untuk menerapkannya di dalam kehidupan bersama di dalam negara kita. Karena kita masih hidup dalam super-ego untuk terus meneror, menghantui dan memata-matai rekan kita. Akibatnya, antara kita dan sesama tidak sepenuhnya merasakan kebebasan ekspresi di dalam kehidupan bersama.
Penjajahan fisik sudah berlalu. Tapi, penjajahan mental sulit untuk kita hindari di era 21. Memang apa yang terlihat di luar sangat baik dan sempuran di mata orang lain ataupun bangsa lain. Tapi, sangat jelek dan tak bermoral dalam kehidupan kita sebagai sesama suku bangsa.
Bung Karno mengatakan bahwa,"Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri."
Perjuangan kita untuk melawan sesama suku bangsa lebih sulit, daripada melawan suku bangsa lain! Karena kita masih hidup dalam taraf siapa yang menjadi terbaik dan suci di republik ini!
Kendati kita berbeda karakter, cara pandang, logika, kepercayaan, dll. Tapi, kita harus melatih psiko sosial kita. Psiko sosial berkaitan dengan hati nurani kita. Lantas, apakah psiko sosial yang berkaitan dengan hati nurani masih ada di republik ini? Antara ada dan tiada memang selalu berjalan berdampingan. Layaknya, penganut pro dan kontra dalam kehidupan kita.
Era 21 telah mematikan hati nurani kita di dalam kehidupan bersama. Akibatnya, kita saling tuding-menuding, sembari melontarkan hinaan, cuitan yang mengganggu kenyamanan hidup sesama, lingkungan maupun alam semesta.
Kematian hati nurani kita rakyat Indonesia membawa luka yang amat mendalam sebagai bangsa yang cinta damai dan persaudaraan di bawah kejayaan kerajaan Majapahit yang kiprahnya hinggan negeri Asia Tenggara lainnya.
Kini, kita hanya mengais kejayaan di masa lalu. Apakah kita harus terus menunggu waktu yang tepat untuk merekonstruksi akhlak kita di dalam kehidupan bersama? Rasanya sulit! Sesulit permintaan ibu hamil tetanggaku yang mengidam makan buah kenari di tengah malam.
Akibatnya, suaminya kalang kabut mau mencari buah kenari di mana? Maka, terjadilah polemik yang semakin memanas antara ibu hamil dan suaminya. Korbannya adalah sang suami yang tak bisa berbuat apa-apa. Ia begitu terluka dan tersiksa dengan permintaan istrinya.
Demikian potretan kematian hati nurani rakyat Indonesia di era 21. Untuk mengembalikan kedamaian antar sesama suku bangsa, kita harus menghidupi nilai-nilai universal. Nilai universal seperti cinta akan perdamaian, persaudaraan, saling menghargai dan menghormati sebagai sesama, senasib dan seperjuang di bumi Pertiwi.
Salam hati nurani
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI