Boleh bangga menguasai belasan bahasa asing, asalkan jangan durhaka terhadap bahasa daerah!
Pernah ngak lihat sesama yang berasal dari suku A,B dan C yang mulai memasuki "Sindrom Amnesia Bahasa'. Barangkali istilah ini belum ada di KBBI. Tak apalah, yang terpenting kita masih bisa menata logika untuk menelanjangi generasi yang sok tahu tentang berbagai bahasa, tapi melupakan akar bahasanya sendiri.
Tren amnesia bahasa daerah sudah menjadi hal yang lumrah di dalam kehidupan generasi Milenial dan Alpha yang berada di tanah rantau.
Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan salah satu sahabat yang berasal dari daerah saya juga. Kebetulan ia sudah lama tinggal di tanah rantau, dan bekerja di salah satu perusahaan ternama negeri ini.
Sekadar kami saling melepas kangen dan ber-say-hello. Percakapan kami pun mulai ngalir. Tak lama kemudian, ia berbicara menggunakan bahasa komputer, bahasa asing yang saya tidak kenal. Mencoba untuk mengamati alur logikanya.
Menarik adalah kata yang tepat untuk menggambarkan percakapan kami. Anehnya, ia sangat lihai dalam beberapa bahasa asing, tapi lemah bahkan memasuki sindrom amnesia bahasa daerah.
Miris saya melihat karakter orang demikian! Ya, bukannya saya sok anti bahasa asing, tapi ini menyangkut identitas diri. Karena bahasa daerah adalah bagian budaya yang perlu dilestarikan.
Kita boleh saja mengelak akan peristiwa ini, tapi inilah situasi yang belum sepenuhnya dirasakan oleh kaum intelektual. Tak ada yang salah, bila kita menguasai 3-4 bahasa, bahkan lebih. Asalkan identitas kita jangan ikut terkikis dengan kontaminasi budaya lain.
Saya yakin, perlahan tapi pasti, generasi Milenial dan Alpa akan tergerus di tengah pusaran bahasa asing.
Coba anda amati lingkungan sekitar, banyak orang yang mengerti bahasa daerahnya sendiri, tapi sulit untuk berkomunikasi dengan bahasa daerahnya. Apakah ini bagian dari kesombongan intelektual? Ataukah memang tren bahasa daerah sudah memasuki senjakala?
Mungkinkah bahasa daerah hilang ditelan zaman? Tentu segala sesuatu mempunyai potensi untuk hilang.
Namun, di sisi lain, saya melihat ada pegiat-pegiat literasi daerah yang mulai berani untuk menerbitkan novel bahasa daerah, sebagai kearifan lokal yang perlu dilestarikan.
Ya, salah satu contohnya adalah Kompasianer Ikhwanul Halim yang berani mempublikasikan novel bahasa daerah.Â
 Ada juga Pak Pepih Nugraha yang semakin getol mempublikasi karya bahasa daerah (Sunda) di websitenya.
Selain itu saya banyak belajar dari Komunitas Biara Katolik, khusunya Kongregasi SVD (Sicietas Verbi Divini), Provinsi Jawa yang setiap tahun mengadakan Hari Budaya Nusantara.Â
Acara Hari budaya Nusantara sebagai ajang pembelajaran antar budaya yang ada di Nusantara. Setiap budaya wajib menampilkan acara daerahnya. Tentu setiap orang akan mempelajari bahasa daerah yang dipentaskan. Bukankah ini merupakan langkah yang tepat, untuk mengukuhkan atau melestarikan budaya Nusantara?
Bahasa daerah adalah identitas dari mana kita berasal. Boleh kita mempelajari budaya/bahasa asing untuk menunjang karier dan pergaulan kita dengan dunia luar. Asalkan bahasa daerah jangan kita menodai dengan sikap durhaka.
Mari mencintai bahasa daerah. Jangan biarkan bahasa daerah semakin hilang di tengah gempuran bahasa asing di dalam kehidupan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H