Desain kehidupan saya akan biasa-biasa saja, bila 6 tahun yang lalu saya memilih untuk tidak merantau. Pikiran saya hanya terjebak di antara padang sabana, perbukitan, pantai, panorama pegunungan, sembari menggembalakan kambing dan sapi peliharaan orangtua. Berada di kampung 6 tahun yang lalu, saya tidak mempunyai masa depan.Â
Bagaimana saya mempunyai masa depan? Toh, semuanya hidup serba kritis dan memprihatinkan. Karena tiadanya lapak, tempat, taman bacaan yang mendukung. Apalagi, literasi tentang pendidikan yang berkualitas, manajemen diri dalam menentukan visi dan misi kehidupan yang jauh lebih baik.
Situasi dan kondisi yang saya alami 6 tahun lalu, sekarang juga masih relevan untuk mutiara-mutiara bangsa yang terpendam di kampung halaman saya. Apa boleh buat, perhatian pemerintah daerah saja hanya berpusat pada politik, politik dan politik. Sementara, pemberdayaan mutiara-mutiara penerus bangsa dikesampingkan. Meratapi nasib adalah fakta yang masih dan akan selalu ada dalam mutiara-mutiara penerus bangsa di kampung halaman saya.
Setiap orang memiliki potensi untuk menjadi yang terbaik dalam bidangnya. Namun, untuk mengeluarkan potensi-potensi terbaik dalam diri setiap orang itu susah dan rumit. Serumit segala administrasi, bila kita pergi mengurus berkas-berkas penting di setiap instansi pemerintahan.
Paradigma, cara pandang ini saya dapatkan semenjak memilih untuk merantau. Tanah rantau telah membuka pikiran saya untuk melihat dunia yang lebih kompleks dari kampung halaman tercinta. Tanah rantau telah mengajarkan saya untuk survival atau bertahan dalam setiap situasi. Sebab dalam situasi terjepit, kritis ada potensi untuk berkembang.
Di tanah rantau saya mendapatkan ilmu di mana saja. Karena rasa ingin tahu untuk menjadi yang terbaik membara di dalam diri saya. Tujuannya adalah seketika saya kembali ke kampung halaman tercinta, kehadiran saya bisa menjadi panutan, teladan dalam merubah pola pikir mutiara-mutiara yang masih terpendam di kampung halaman tercinta. Bahwasannya untuk menunggu perhatian dari pemerintah daerah dalam menyediakan taman bacaan yang memadai hanya akan menemui penyesalan. Karena politik menjadi menu istimewa dalam memuaskan dahaga. Ketimbang memberdayakan sumber daya manusia yang masih tersimpan dalam keperawanan tanah Timor.
Sebagai anak desa yang pernah mengalami kekurangan dalam mendapatkan ilmu pengetahuan, dengan rendah hati saya meminta pemerintah daerah Timor Tengah Utara (TTU) untuk menyediakan taman bacaan yang memadai di kampung halaman saya. Karena ribuan mutiara penerus bangsa yang masih terjebak dengan kekurangan bahan bacaan. Harapannya, semoga dengan banyaknya taman bacaan yang terstruktur dengan rapi, mampu membangkitkan generasi penerus bangsa tanah Timor untuk menatap masa depannya yang penuh dengan warna kehidupan.
Salam hormat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H