Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis || Pegiat Konten Lokal NTT || Blogger Tafenpah.com

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group || Jika berkenan, mampirlah di blog saya Tafenpah.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Sensitivitas Pengguna Media Sosial

19 November 2020   00:48 Diperbarui: 19 November 2020   01:06 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya sensivitas media sosial sudah merambah ke dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Manusia tak bisa membedakan fungsi media sosial yakni, sarana komunikasi. 

Komunikasi dalam bentuk penyampaian informasi yang bersifat membangun dan mendidik. salah, bila media sosial hanya digunakan untuk saling menyerang antar kepentingan. Apalagi sekaliber tokoh panutan dalam masyarakat yang menggunakan hak vetonya dalam berteriak di media sosial. Apakah ini berkaitan dengan kesepian?

Kesepian karena kasih, perhatian dan ketakutan atas segala peristiwa yang sudah terjadi di masa silam. Sepanjang hari, ribuan tokoh masyarakat berteriak kencang melalui media sosial. Alih-alih pencemaran nama baik, penghinaan dan sebagainya. Tentu, kondisi ini tak etis bagi seorang figur publik. Penulis menamakan fenomena ini sebagai keniscayaan era digital.

Sensivitas adalah bagian dari kekurangan nutrisi kepada otak. Artinya, orang yang banyak berteriak di media sosial adalah orang yang takut akan kehilangan jabatan, kekuasaan, pengaruh kepada pengikutnya. Selain itu, munculnya figur-figur muda yang lebih fresh, visioner dan semangat dalam berkarya, menyebabkan kecemburuan sosial bagi pendahulunya. Karena faktor usia dan berkurangnya dukungan dari koleganya.

Jalan satu-satunya adalah terus berteriak di media sosial. Setiap ada celah, suara sumbang semakin menghiasi media massa. Media massa juga ikut-ikutan memotret kedunguan/kebodohan figur publik yang kesepian akan jabatan. Alangkah lebih baik, media massa menonjolkan informasi yang mendidik dan membangun, ketimbangan melebih-lebihkan sensasi dari kesepian jabatan dari figur publik.

Atau jangan-jangan sensivitas kesepian figur publik di media sosial hanya untuk mengalihkan masalah-masalah bangsa yang belum diselesaikan. Makanya, mereka memilih media sosial sebagai sarana untuk menutupi kejanggalan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mari kita menggunakan media sosial dengan bijak dalam membangun bangsa. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun