Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis || Pegiat Konten Lokal NTT || Blogger Tafenpah.com

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group || Jika berkenan, mampirlah di blog saya Tafenpah.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Penyakit Beragama Mulai Muncul Menjelang Kontestasi Politik

17 November 2020   01:26 Diperbarui: 17 November 2020   01:51 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beragama tak dilarang, tapi jangan fanatik. Apalagi menggunakan dalil agama untuk kepentingan kontestasi Politik.

Kontestasi dalam KBBI Daring adalah;kontroversi,debat; sistem-memperebutkan dukungan rakyat telah mengikuti 'sistem pasar" seiring dengan rontoknya sistem lama oleh gerakan reformasi pada tahun 1998 (Sumber:Kamus Bahasa Indonesia edisi elektronik (Pusat Bahasa,2008).

Ada banyak pemuka agama yang menebar sensasi di ruang publik hanya untuk memenangkan kepentingan kontestasi politik dari salah satu kandidat. Bila dewasa ini, agama dijadikan sebagai ladang untuk mencari nafkah, ketenaran melalui berbagai sensasi, di manakah letak humanisme agama? Karena agama itu mengajarkan tentang cinta kasih yang bersumber pada manusia dan kehidupannya.

Orang yang tak beragama seperti Ateis lebih menghargai kemanusiaan daripada orang yang mengaku beragama. Agama hanya diwartakan melalui kata. Tapi, tindakan nyata jauh dari apa yang diajarkan dalam agama. Apalagi menjelang pesta demokrasi lima tahunan. Uuuuuh, suara orang beragama semakin seksi di mata publik.

Dewasa ini, kita tak bisa membedakan ruang agama dan politik. Karena dalam agama ada politik. Begitu pun, dalam politik ada kepentingan agama. Lalu, apa yang kita dapatkan sebagai orang beriman, bila pemuka agama hanya menebar sensasi di ruang publik? Tentu yang kita dapatkan adalah adanya perpecahan, permusuhan sebagai pribadi yang berasal dari Bapak Abraham.

Untuk menghancurkan Indonesia itu sangat mudah dan gampang. Karena kita orang Indonesia mudah diprovokasi melalui ruang beragama. Makanya, kepentingan pihak luar selalu menggunakan jalur agama untuk memisahkan keharmonisan sebagai saudara seperjuangan.

Lihat saja, 2022, 2023 hingga 2024 suara-suara sumbangdalam kubangan beragama akan berteriak kencang demi memenangkan salah satu kandidat. Kultus atau budaya memisahkan sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Di mana, kaum intelektual (Filsuf Sofisme) yang ada sezaman dengan Sokrates sangat fanatik dalam menyebarkan ajarannya.

Sadar atau tidak, filsuf (orang bijak) yang fanatik zaman now adalah pemuka agama. Oleh sebab itu, tak salah bila penulis mengutip ajaran dari Filsuf Friedrich Nietzche berkebangsaan Jerman yang sangat tajam dalam mengkritiki kehidupan beragama di negaranya.

Nietzche mengatakan,"Tuhan sudah mati." Artinya Manusia sendiri yang membunuh Tuhan dan membela-Nya dengan cara menjelekkan sesamanya, memfitnah sesamanya. Selain itu, manusia juga menuhankan yang lain. Sebagaimana pemuka agama menuhankan para politisi dalam mencari kenikmatan sesaat, lalu menderita selama hidupnya. Karena ia dikejar oleh rasa bersalah.

Oleh sebab itu, tebarkan sisi humanisme di mana pun anda berada sebagai amal. Dan cintailah sesama dan negaramu yang telah memberimu segalanya.

Sekian

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun