Budaya adalah identitas setiap orang. Manusia hidup berasal dari budaya. Melalui budaya manusia bertumbuh dan berkembang menuju peradaban. Manusia yang beradab adalah manusia yang mampu menghargai segala perbedaan. Karena perbedaan itu unik dan indah. Keunikan dan keindahan budaya ada dalam kebersamaan
Manusia selalu membutuhkan orang lain. Karena kodrat manusia adalah makhluk sosial. Begitu pun dalam kehidupan berbangsa.Â
"Bangsa adalah sekelompok manusia yang berada dalam satu ikatan batin yang dipersatukan karena memiliki persamaan sejarah, serta cita-cita yang sama" (Ernest Renan) id.wikipedia.org/wiki/bangsa.
Kelahiran bangsa Indonesia telah melalui sejarah yang panjang. Dalam sejarah ada cita-cita masyarakat Indonesia untuk bebas mengekspresikan diri. Kebebasan ekspresi telah melahirkan rasis. Rasis adalah masalah universal. Setiap orang sudah melalui tahap rasis dalam kehidupan. Namun, dampak terbesar kelahiran rasis ada di era 21. Era 21 adalah milenium ketiga dari sejarah.
Era 21 telah melahirkan beragam bentuk rasis melalui jaringan nirkabel dasarr laut. Gelombang jaringan internet yang di tanam melalui jaringan nirkabel dasar laut memiliki potensi super dahsyat, sekaligus memiliki potensi rasisme yang sangat tinggi. Salah satu rasisme yang dialami oleh manusia adalah melalui 'Bullying.' Bullying adalah bentuk rasis melalui dunia nyata maupun dunia tipu-tipu yakni dunia maya.
Kehadiran dunia maya telah memberikan kebebasan ekspresi tanpa batas bagi setiap orang. Entah sadar atau tidak, kerap kali saya melihat para pejabat publik melontarkan bullying halus melalui jagat maya. Â Mengingat dewasa ini pengguna media sosial sangat sensitif. Munculnya rasa sensitif melahirkan rasis. Tujuan dari rasis adalah popularitas.
Menyibak soal rasis online yang menjadi topik pilihan Kompasiana (Kamis,1/10/2020). Saya melihat 'bullying' adalah kebutuhan primer manusia, selain makanan. Mengapa saya katakan demikian? Karena keadaan sekarang berpotensi bagi setiap orang untuk saling mem-bullying. Mengingat ruang gerak manusia sangat terbatas. Akibat pandemik.
Keterbasan ruang gerak manusia secara offline menjadi sumber rasis melalui media sosial. Saya melihat media sosial sebagai 'sumber api.' Di mana kicauan warganet umumnya tak beretika. Lah, model etika yang seperti apa? Etika yang saya maksud adalah etika berbudaya. Kita boleh mengekspresikan diri tanpa batas melalui media sosial, tapi kita harus menghargai dan menjunjung tinggi rasa empati. Bukan sebaliknya mengumbar rasis melalui media sosial.
Okelah, kita memang berbeda secara ras, budaya, bahasa dan karakter. Tapi, kita mempunyai cita-cita bersama yakni memajukan bangsa Indonesia. Saya menawarkan semacam obat atau tips untuk menghindari budaya rasis hanya dengan satu jalan yakni,"Studi Kearifan Lokal." Â
"Metodologi studi kearifan lokal~Pancasila sebagaimana dijalankan? Kearifan lokal bagaikan sumber-sumber alam yang berharga yang tersembunyi dalam-dalam di tanah keseharian hidup masyarakat yang terbentang di seluruh wilayah Indonesia. Studi kearifan lokal mengandaikan metodologi kebudayaan, studi filsafat nilai-nilai tradisi, studi pula prinsip-prinsip hidup bersama, dan studi citra rasa religius populis yang tidak reduktif pada tataran tekstual pada konsep agama-agama institusional, serta pengalaman konkret masyarakat dalam menapaki peziarahan hidup bersama."Armada Riyanto, Kearifan Lokal ~ Pancasila Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan (Yogyakarta: Kanisius, 2015) Hlm.26
Saya rasa studi kearifan lokal adalah jembatan menuju cita-cita kehidupan berbangsa.
Sekian, semoga bermanfaat.
Kefamenanu,01 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H