Manusia tak pernah memilih keluarga, tempat, negara di mana ia dilahirkan. Tapi, apa yang anda rasakan bila terlahir sebagai anak pertama?Â
Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan sahabat lama yang sudah sekian tahun hijrah ke kota metropolitan.Â
Layaknya hijrah para pesepak bola mega bintang dunia mendekati setiap bursa transfer musim panas dan dingin setiap tahun. Sekadar saya ber'say-hello' untuk melepas kangen yang sudah sekian tahun ditahan oleh semesta.
Purnama menggantung indah di angkasa, seolah-olah ia sedang membaca 'Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat' karya Mark Manson. Saya mencoba untuk membangun komunikasi yang sudah sekian tahun hanya melalui medsos.Â
Namun, saya tak menyangka bahwa dia sedang dirundung nestapa penderitaan batin. Sebab senyumannya tak memancarkan ketulusan. Ia boleh membodohi semesta, tapi ia tak akan membodohi diriku yang sedang memandangi pancaran matanya yang penuh dengan derita.
Apakah kehidupan hanya berada pada lingkaran pertempuran antara kebaikan dan kejahatan dalam pandangan humanisme? Saya tidak tahu apa-apa. Berangkat dari ketidaktahuan, saya mencari akar permasalahan yang sedang diderita oleh sahabatku.Â
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"Â
"Saya hanya memikirkan bagaimana caranya saya membiayai pendidikan adik-adikku dan keluargaku.''
"Memangnya ayah kamu tak mampu untuk membiayai pendidikan adik-adik dan keluargamu?"
"Tidak!"