Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis || Pegiat Konten Lokal NTT || Blogger Tafenpah.com

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia || Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group || Jika berkenan, mampirlah di blog saya Tafenpah.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ngopi (Ngobrol Perkara Impian)

2 September 2020   00:14 Diperbarui: 2 September 2020   00:09 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Langit cerah jatuh di pesisir pantai Wini. Wini adalah salah satu tempat rekreasi yang berada di kabupaten Timor Tengah Utara -- NTT. Sintia sedang duduk di atas pasir putih, sementara angin menerbangkan rambutnya. 

Ribuan keindahan saling berkejaran melintasi Cakrawala. Sejauh mata memandang, ada pelangi, ada rindu, ada kebohongan, ada derita dan ada penghianatan. 

Matahari, bulan dan bintang terpana memandangi penipuan cinta. Layaknya penipuan digital "One time password (OTP) peretasan akun oleh pembajak. 

Cinta diretas oleh media sosial. Cinta tak mengenal kondisi. Cinta itu universal sekaligus membunuh. Bias dan bising ombak lautan terbang bersama angin di keheningan semesta pantai Wini. Sementara jantung Sintia dibajak oleh rindu.

Ketika rindu memanggil dalam dilema. Dilema antara karier, percintaan dan superego orangtua. Rindu telah berontak beriringan mudik. Mudik adalah obat terlaris para perantau. Rasa rindu akan kehangatan keluarga terus memanggi para perantau. Jantung para perantau terjebak di antara politik dan pandemik Covid-19.

Rindu itu berat. Seberat nada dering telpon yang tak kunjung membangunkan Sintia dari alam pesisir pantai Wini. Sintia terus menatap tajam layar handphone androidnya.

Tatapannya setajam Hitler sewaktu menggiring kaum minoriras dan Yahudi dalam pembantaian di kamp -- kamp konsentrasi demi menyelamatkan ras Arya.

"kapan?"

"kapan?"

Kata tanya,"kapan" selalu memenjarakan Sintia. Layaknya, penjara rasionalitas masyarakat sebelum abad 18 yang memandang petir sebagai dewa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun