Indonesia itu ada karena banyak budaya, bahasa dan ras. Indonesia didirikan atas dasar kesepakatan bersama. Cinta adalah gerbang menuju kehidupan yang harmonis. Tahun 2014-2019 saya menjalani pembinaan sebagai calon Imam Katolik di Seminari Tinggi SVD Surya Wacana Malang. Salah satu cara untuk menjalin komunikasi bersama budaya orang lain adalah menghargai. Menghargai karakter, sikap, ego dan superego dalam keseharian.Â
Hidup adalah anugerah terbesar dari Sang Pengada. Nada-nada dari Sang Pengada membawa kami untuk merangkai benang masa depan. Kami tidak memilih untuk dilahirkan di tanah Timor, Bali, Sumba, Sumatera, Kalimantan, Nias, Jawa dan Sulawesi. Kami juga tidak memilih keluarga, keadaan saat dilahirkan. Yang terpenting bagi kami adalah menghargai keberagaman.
Ribuan karakter telah disatukan dalam payung Bhineka Tunggal Ika. Meskipun kami berasal dari latar belakang pendidikan, budaya, keluarga cara pandang yang berbeda, akan tetapi kami disatukan dalam semangat mencintai Republik Indonesia.
Selain itu, kami tak pernah skeptis dan xenofobia terhadap kebudayaan orang lain. Sebab, kami hanya menjalani kehidupan seperti apa adanya, bukan ada apanya.
Dewasa ini, ribuan orang sangat sensitif dengan kebudayaan orang lain. Ada apa dibalik cara hidup demikian? Apakah rasa sensitif hanya bertujuan untuk mencapai segala sesuatu dalam kehidupan bersama? Entahlah, sebab abad 21 telah melahirkan manusia sensitif. Akibatnya, manusia teralienasi dari dirinya, sesamanya, lingkungan dan alamnya.Â
Ribuan hari saya membuka cakrawala di media sosial, ujaran kebencian saling menusuk kalbu. Kebencian bak virus yang menjangkiti setiap orang. Human interest atau kemanusiaan itu jauh lebih tinggi daripada status sosial dan latar belakang apa pun.
Sebagai pendekatan kontekstualnya adalah banyak pemimpin yang saling menyerang melalui retorika dan wacana dalam ruang publik. Eksistensi ruang publik salah difungsikan untuk kepentingan dan kemajuan bersama.
Seolah-olah penguasa absolut kebenaran semesta adalah hanya milik perorangan. Inilah superego manusia abad 21. Memang benar, karena pada hakekatnya manusia ingin menguasai sesamanya.
"Indahnya Perbedaan" adalah sarana atau mediasi menuju kehidupan harmonis di tengah situasi ketidakpastian bangsa, akibat pandemi covid-19. Mari kita saling menahan ego dan mencari solusi untuk mempertahankan kehidupan. Karena masalah sekarang bukan hanya mencari siapa yang benar dan salah di ruang publik.
Akan tetapi, bagaimana kita mengembalikan kondisi psikologis rakyat yang telah tersakiti dengan ribuan ketakutan akan segala wacana yang tidak perlu dan pantas untuk disampaikan kepada ruang publik, jika motifnya hanya sekadar mencari sensasi untuk popularitas diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H