Oleh : Fredy Glenz
Netizen Jurnalis.
“ Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesilaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun. “ ( KUHP Pasal 289 )
BEBERAPA hari yang lalu , Saya mendapatkan pesan whats app tentang teman wanita yang mendapatkan perlakuan percobaan pemerkosaan yang dilakukan oknum fotografer.
Sampai akhirnya pelaku melakukan tindakan pelecehan seksual dengan menusuk bagian vital korban dengan jari tangan pelaku. Tindakan percobaan pemerkosaan gagal menjadi tindakan pemerkosaan murni karena korban terus berontak dan pelaku pun menyudahi perbuatannya dengan tanpa penyesalan sama sekali.
Tidak lama korban pun ber-inisiatif melaporkan kejadian yang telah di alami ke kantor polisi terdekat. Di kantor kepolisian korban yang semula begitu kuat tekadnya untuk melaporkan kejadian yang menimpa dirinya , menjadi bingung karena menurut petugas yang menerima laporan , apa yang di laporkan korban tidak dapat di proses secara hukum .
Petugas kepolisian menjelaskan , bahwa laporan korban tidak dapat di proses lebih lanjut karena tidak adanya bukti kekerasan fisik yang menyebabkan korban tidak sadarkan diri dan tidak adanya saksi yang bisa menguatkan laporan korban. Petugas polisi pun menyarankan agar membuat surat perjanjian antara korban dan pelaku yang berisi apabila ada tindakan dari pelaku yang mencoba mengancam korban atau mengintimidasi korban , pelaku akan di proses secara hukum.
Aneh bukan ? begitu sulitnya korban pelecehan seksual untuk memperkarakan-nya. Apa harus korban pelecehan seksual menjadi korban pemerkosaan dahulu ? apakah pemerintah serta jajarannya tidak peduli akan tindakan kekerasan dan pelecehan seksual pada kaum perempuan ? Bahkan UU ITE menjadi boomerang sendiri bagi korban atau pelapor tindakan kekerasan dan pelecehan seksual pada perempuan. Masih ingat kasus yang menimpa Ibu Baiq Nuril dimana seorang guru honorer menjadi korban pelecehan seksual kemudian di kriminalisasi oleh pelaku dengan menggunakan UUD ITE. Bukankah sangat lucu saat korban malah menjadi terlapor.
Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana ( KUHP ) pada Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP mengutip buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya” karya R. Soesilo. Dapat disimpulkan bahwa perbuatan cabul adalah perbuatan yang melanggar asas kesusialaan dan merupakan perbuatan yang keji yang berkaitan dengan nafsu kelamin. Adapun perbuatan cabul itu seperti ; Cium-ciuman , Meraba-raba anggota kemaluan , Meraba-raba buah dada dan sebagainya.
Dengan pengertian di-atas dapat di simpulkan segala perbuatan jika telah di anggap melanggar norma norma kesopanan dan Kesusilaan , maka seharusnya dengan jelas dapat dimasukan dalam kategori perbuatan cabul yang secara hukum di definisikan sebagai “ Imposition Of Unwelcome Sexual Demands or Creation Of Sexually Offensive Environments “
Sehingga unsur-unsur penting dari pelecehan seksual dimana adanya ketidak inginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian bersifat seksual telah terpenuhi sehingga pelaku tindak pelecehan seksual dapat di jerat dengan menggunakan pasal pencabulan dengan menggunakan Pasal 289 s.d. Pasal 296 KUHP