4. Sang seniman sebenarnya tidak pernah menyumbang lebih besar dari pada harga microphone tersebut. dia hanya jual nama saja sebagai seniman (sialnya atau untungnya, mayoritas manusia Indonesia menganggap seniman sebagai manusia setengah dewa....).
5. Sumbangan sebesar belasan juta tersebut lebih layak diklaim sebagai sumbangan dari sang pembeli microphone dibanding sebagai sumbangan sang seniman.
Hingga hari ini saya masih sering mendengar hal-hal tersebut terjadi. dulu juga pernah ada seorang da'i yang datang ke Aceh melelang selendangnya dengan harga panwaran yang sangat tinggi, padahal kalau dihitung-hitung harga selendang/sorban seperti yang dilelang sang dai tidak lebih dari kisaran seratus hingga lima ratus ribu. Saat ada penduduk pribumi yang (mungkin karena lugu) menawar harga sorban tersebut ratusan ribu, sang dai marah dan ngedumel, "emangnya sorban saya kain lap apa...???" hadoooooh...!!!
Akhirnya saya masih menyimpang pertanyaan yang sama hingga sekarang, kenapa manusia tidak protes terhadap "ketidakadilan klaim" yang sering terjadi dalam kasus seperti ini. Mungkin akan ada jawaban dari beberapa orang yang mengatakan hal itu bukan masalah, yang penting niat, atau ada yang bilang kok ngurusin masalah kayak gitu sih, atau jangan menjadi penyebab amal seseorang hilang, bla, bla ,bla....
Lha bagi saya ini penting, karena kalau pejabat yang melakukan hal seperti ini, pasti dituduh "PENCITRAAN".....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H