buzzer pemerintah yang semakin marak tengah menjadi sorotan penting dalam dinamika politik Indonesia saat ini. Buzzer kerap digunakan untuk membentuk opini publik yang mendukung kebijakan pemerintah, sekaligus membungkam kritik masyarakat. Langkah ini tidak hanya menciptakan ilusi bahwa pemerintah berjalan tanpa cela, tetapi juga menghambat proses check and balances yang esensial bagi demokrasi. Dalam konteks ini, konsep kontrak sosial Jean-Jacques Rousseau dan gagasan tentang kemunduran demokrasi dalam How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menawarkan perspektif mendalam untuk memahami ancaman yang dihadapi demokrasi Indonesia akibat manipulasi opini publik yang dilakukan oleh buzzer.
FenomenaJean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract menyatakan bahwa masyarakat membentuk kontrak sosial dengan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat. Dalam kontrak ini, pemerintah diberi legitimasi oleh rakyat untuk menjalankan kekuasaan demi memenuhi hak-hak dasar, seperti hak asasi manusia, kesehatan, pendidikan, dan lain lain. Namun, legitimasi ini bersyarat, bahwa pemerintah harus memenuhi kewajibannya sesuai kehendak umum (general will) demi terciptanya kebaikan bersama (common good). Ketika pemerintah gagal, rakyat memiliki hak untuk mengawasi dan, jika perlu, mencabut legitimasi tersebut.
Manipulasi opini publik melalui buzzer bertentangan dengan prinsip kehendak umum yang diusung oleh Rousseau. Ketika opini dikendalikan untuk melindungi citra pemerintah tanpa memperhatikan kenyataan di lapangan, rakyat kehilangan akses terhadap informasi yang objektif. Hal ini pada akhirnya melemahkan fungsi kontrak sosial karena rakyat tidak dapat membuat penilaian yang jujur terhadap kinerja pemerintah.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die menyoroti bagaimana demokrasi sering kali runtuh bukan melalui kudeta atau kekerasan, melainkan melalui pelemahan institusi demokrasi secara perlahan oleh aktor-aktor terpilih. Salah satu indikator utamanya adalah erosi norma demokrasi, seperti hilangnya toleransi mutual dan meningkatnya manipulasi opini publik.
Penggunaan buzzer untuk mengontrol narasi publik mencerminkan erosi norma demokrasi ini. Dengan mengarahkan opini publik untuk mendukung kebijakan tertentu, pemerintah menciptakan atmosfer yang tidak sehat bagi demokrasi. Buzzer tidak hanya mengaburkan realitas, tetapi juga mempersempit ruang diskusi publik yang seharusnya menjadi wadah bagi rakyat untuk menyuarakan aspirasi dan kekhawatiran mereka.
Menghadapi pemerintahan Prabowo-Gibran yang pada 28 Januari 2025 mendatang akan memasuki 100 hari kerja, pengerahan buzzer secara terus-menerus tidak boleh dilanjutkan!
Masyarakat perlu meningkatkan literasinya agar tidak mudah terbuai oleh indahnya polesan para buzzer. Sering kali, buzzer memoles citra pemerintah melalui konten foto dan video, serta komentar-komentar di media sosial seperti Instagram, TikTok, dan platform lainnya. Hal ini dapat menggiring opini masyarakat, khususnya kaum muda yang banyak menghabiskan waktu berselancar di  media sosial tanpa tujuan yang jelas, atau yang dikenal sebagai zombie scrolling.
Menurut laporan We Are Social 2024, rata-rata orang Indonesia berusia 16-64 tahun menghabiskan waktu sekitar 7 jam 38 menit per hari untuk mengakses internet. Durasi ini jauh lebih lama dibanding rata-rata dunia yang hanya 6 jam 40 menit. Indonesia menduduki peringkat ke-12 negara dengan penggunaan internet terbanyak di dunia. Data ini menunjukkan bahwa dengan kehadiran buzzer, kesadaran masyarakat terhadap berbagai kebijakan di Indonesia cenderung terbuai dalam polesan mereka.
Rakyat, sebagai pemegang kontrak sosial, memiliki tanggung jawab untuk mengawasi pelaksanaan kontrak tersebut. Rousseau menekankan bahwa kehendak umum hanya dapat terwujud jika rakyat aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan pengawasan pemerintah. Dalam konteks ini, masyarakat harus mempertanyakan efektivitas kebijakan pemerintah dan menolak manipulasi opini publik yang mengabaikan fakta di lapangan. Sebagaimana dijelaskan oleh Levitsky dan Ziblatt, perlindungan demokrasi bergantung pada komitmen kolektif untuk menjaga norma-norma demokrasi. Toleransi mutual dan kebebasan berpendapat harus dipertahankan agar demokrasi tidak terperosok ke dalam otoritarianisme terselubung.
Konsep kontrak sosial Rousseau dan analisis dalam How Democracies Die menawarkan pelajaran berharga bagi demokrasi Indonesia. Pemerintah harus mengutamakan kepentingan rakyat dan menghormati kontrak sosial dengan mengelola kebijakan secara transparan dan efektif. Di sisi lain, rakyat harus tetap kritis terhadap manipulasi opini publik yang mengaburkan realitas. Demokrasi bukanlah sistem yang sempurna, tetapi keberlanjutannya membutuhkan keterlibatan aktif semua pihak. Hanya dengan demikian, kita dapat mencegah kemunduran demokrasi dan memastikan bahwa pemerintah benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat, sebagaimana diamanatkan oleh kontrak sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H