Mohon tunggu...
Matthew Owen Van Fredlian
Matthew Owen Van Fredlian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana

Saya merupakan seorang mahasiswa yang memiliki ketertarikan terhadap isu-isu sosial, khususnya hukum dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Sebuah Opini Tentang Manipulasi Demokrasi: Merangkul Oposisi Menjadi Koalisi

30 April 2024   17:08 Diperbarui: 21 Mei 2024   11:26 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1 Ilustrasi Demokrasi. Sumber: Dokumen Pribadi

Pada tanggal 14 Februari 2024, masyarakat Indonesia telah menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024. Meskipun pesta demokrasi telah berakhir, Indonesia kini tengah disibukkan dengan berbagai perbincangan hangat mengenai pembentukan koalisi dan oposisi di periode pemerintahan Prabowo-Gibran. 

Di tengah hangatnya perbincangan tersebut, Bambang Soesatyo selaku Wakil Ketua Umum Partai Golongan Karya menyatakan pandangan bahwa oposisi tidak dibutuhkan dalam pemerintahan Indonesia. Pandangan tersebut menimbulkan pertanyaan: Apa fungsi dari oposisi? Bukankah pemerintahan dapat berjalan lancar dengan tidak adanya oposisi? Apakah oposisi masih dibutuhkan dalam kisah panjang napak tilas demokrasi negeri ini? 

Apa Itu Oposisi?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oposisi adalah partai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa. Istilah "oposisi" sering kali dianggap sebagai pihak yang selalu berseberangan, tidak setuju, dan bahkan selalu menantang pihak yang berkuasa. Beberapa negara beranggapan bahwa oposisi sudah tidak lagi diperlukan dan terancam dibubarkan. 

Hilangnya oposisi dalam suatu pemerintahan dapat menciptakan sistem pemerintahan yang absolut. Sistem pemerintahan yang absolut merujuk kepada kekuasaan yang tidak terbatas dan mutlak. Kekuasaan absolut adalah bahaya laten terhadap demokrasi dalam suatu negara sebab kekuasaan tersebut berhasil mengorbankan prinsip checks and balances.

Salah satu ciri utama dalam sistem demokrasi yang sehat adalah keberadaan oposisi yang kuat dan menjalankan fungsi pengawasan secara efektif. Sebenarnya, oposisi tidak selalu berkonotasi negatif. Oposisi sering disebut sebagai penjaga demokrasi karena memiliki peran penting dalam mengawasi kinerja pemerintah dan memastikan bahwa pemerintah menjalankan kekuasaannya secara akuntabel dan transparan. 

Oposisi menjalankan fungsi pengawasan terhadap hegemoni pihak yang berkuasa sehingga kekuasaan tersebut tidak dijalankan sewenang-wenang, sekaligus merupakan cermin bagi pemerintah yang berkuasa untuk menilai dan mengevaluasi kinerjanya. Dengan kata lain, oposisi tidak dapat dianggap sebagai 'musuh dalam selimut', melainkan pengawas demokrasi, menjaga dan memastikan adanya keseimbangan dalam suatu kekuasaan.

Ketua Badan Pengawas Pemilu, Bapak Rahmat Bagja, dalam kuliah Electoral Justice System di Heylaw menyampaikan bahwa pemilu memungkinkan adanya keterwakilan politik dan membantu terbentuknya pemerintahan yang efektif. Oposisi dalam pemerintahan adalah bagian dari keterwakilan politik dan oposisi ikut membantu terbentuknya pemerintahan yang efektif dan demokratis dengan cara memberikan sudut pandang lain terhadap suatu program atau langkah pemerintah. Oposisi membelah dan mengkaji setiap kebijakan pemerintah dengan perspektif yang berbeda, kemudian menyajikan perspektif itu menurut tugas dan fungsi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Oposisi dalam Demokrasi: Pentingnya Checks and Balances

Dalam suatu pemerintahan negara, setiap lembaga negara harus saling membatasi antara kekuasaan yang satu dan yang lain (power limits power). Hal ini telah dijelaskan lebih lanjut oleh Montesquieu tentang teori pemisahan kekuasaan. Meskipun sistem pemerintahan Indonesia tidak mengadopsi Trias Politika secara ketat, tidak kemudian mengurangi perlunya pembatasan kekuasaan suatu lembaga negara dan fungsi pengawasan antar-lembaga negara.

Dalam bukunya De l'Esprit des Lois (1748), Montesquieu menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan, khususnya dalam negara hukum yang harus didistribusikan melalui eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebagai suatu cara untuk mencegah terbentuknya kekuasaan yang absolut. Oposisi yang efektif merupakan hal yang tepat dalam menjaga stabilitas suatu negara khususnya supaya pembagian kekuasaan ini tidak hanya menjadi formalitas belaka, tetapi benar-benar berjalan sesuai dengan prinsip checks and balances.

DPR dalam hal ini memainkan peran krusial sebagai oposisi dalam menjalankan fungsinya. Mengacu pada Pasal 20 ayat (1) hingga ayat (3) UUD 1945, DPR memiliki 3 fungsi utama, yaitu:

  • Legislasi: DPR berwenang untuk membuat undang-undang bersama Presiden.
  • Anggaran: DPR berhak membahas dan menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan Presiden.
  • Pengawasan: DPR bertugas mengawasi kinerja pemerintah dalam melaksanakan undang-undang dan APBN

Fungsi-fungsi tersebut dengan jelas menegaskan bahwa DPR memang telah ditugaskan oleh konstitusi untuk mengawasi dan membatasi kekuasaan eksekutif supaya tidak menjadi pemerintahan yang absolut.


Ancaman Demokrasi: Manipulasi Terhadap Oposisi

Manipulasi politik, intimidasi, dan pembungkaman terhadap oposisi merupakan taktik yang seringkali digunakan untuk mengamankan dan memperkuat pihak yang sedang berkuasa. Alih-alih menjadi rekan dalam pembangunan demokrasi, oposisi dikekang atau bahkan dihilangkan sama sekali.

Dalam hal ini, demokrasi menghadapi ancaman yang serius. Tanpa adanya kritik dan masukan dari pihak oposisi, kekuasaan cenderung terkonsentrasi di tangan segelintir individu atau kelompok dan melahirkan penyalahgunaan kekuasaan serta korupsi yang dapat berkembang dengan bebas.

Lord Acton yang merupakan sejarawan, politikus, dan penulis Inggris ternama pernah berkata, "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely," yang memiliki arti bahwa kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. Sehingga, tanpa adanya oposisi dan checks and balances yang efektif, kekuasaan yang absolut seperti dikatakan oleh Lord Acton dapat saja terjadi dan suara minoritas tidak akan lagi didengar.

Jika kita ingin mempertahankan demokrasi dari terperosoknya ke dalam kuasa tirani, kita perlu mengubah paradigma tentang peran oposisi. Alih-alih dilihat sebagai ancaman, oposisi seharusnya dipandang sebagai rekan dalam menciptakan pemerintahan yang lebih adil dan transparan.

Kesimpulan: Kuatkan Demokrasi demi Masa Depan Negeri

Demokrasi yang sehat membutuhkan lebih dari sekadar pemilu yang memiliki asas luberjurdil (langsung, umum, bebas, jujur, dan adil), pemungutan suara yang bebas dan pemilihan yang kompetitif. Lebih dari itu, penting bagi kita untuk memahami peran oposisi dalam memelihara checks and balances yang sangat penting bagi keberlangsungan demokrasi. 

Menurut saya, pihak oposisi masih dibutuhkan dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Dengan adanya oposisi, prinsip checks and balances dapat terus berjalan. Harapannya, fondasi demokrasi dapat semakin diperkuat guna melindungi prinsip-prinsip kebebasan dan keadilan bagi seluruh warga negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun