OKe SIPP merupakan kependekan dari Orientasi Keruangan, Sistem Informasi dan Pemetaan Partisipatif. Metode ini diciptakan untuk mempercepat proses-proses pemetaan wilayah desa. Prinsip utama dalam metode OKe SIPP adalah partisipatif dan kolaboratif, yang didalamnya nanti akan muncul unsur kreatif dan inovatif.
Metode ini merupakan pengembangan dari sebuah perpaduan antara Sistem Informasi Geografis yang dianggap ‘high tech’ dan Pemetaan Partisipatif yang dianggap tradisional, serta kebutuhan cepat untuk menguasai pengetahuan ruang secara akurat. Saya yang bergabung dalam Divisi GIS Komunitas Konservasi Indonesi WARSI (KKI WARSI), mengembangkan metode ini terdorong oleh target program yang cukup tinggi tetapi sumberdaya ahli peta yang terbatas.
Bagaimana metode OKe SIPP yang memadukan teknologi GIS yang ‘high tech’menyatu dengan prinsip partisipatif yang kolaboratif, diaplikasikan dimasyarakat?
Jangan salah. Masyarakat pun sekarang sudah high tech,tidak semua memang, tetapi pada umumnya mereka mengenal teknologi ponsel, beberapa sudah familiar dengan android, dan GPS tidak lagi menjadi sesuatu yang terdengar asing ditelinga mereka. Lalu, Partispatiflah yang memegang peranan utama dalam kegiatan ini. Partisipatif saya maknai sebagai upaya berbagi peran antara ahli pemetaan dengan masyarakat yang mengenal betul ruang kelola di wilayahnya.
Dalam Pemetaan Partisipatif peralatan yang digunakan biasanya hanya sederhana dan apa adanya, serta menempatkan masyarakat sebagai informan keruangan dan guide local, sehingga metode ini mulai saya anggap mulai ‘tertinggal’. Dalam OKe SIPP masyarakat diberi peranan yang lebih besar, dia adalah sumber informasi keruangan, perancang survei lapangan, ahli pengukuran, dan nara sumber saat menjelaskan peta yang dihasilkan.
Ada sembilan tahapan dalam OKe SIPP yang harus dilakukan hingga peta yang dihasilkan dinyatakan layak publish atau memenuhi syarat menjadi sebuah peta.
Pertama, pembuatan sketsa peta. Sketsa peta merupakan informasi keruangan sebentuk peta, yang digambarkan sederhana secara partisipatif oleh masyarakat, namun belum memenuhi unsur-unsur standar sebagaimana layaknya sebuah peta. Sebelum informasi keruangan dituangkan dalam sebuah sketsa, fasilitator lapangan sudah terlebih dahulu menghimpun informasi tentang keruangan tersebut dalam berbagai pertemuan informal seperti diskusi personal dengan para tokoh, obrolan lapau (obrolan warung kopi), ataupun obrolan tapi ayia (obrolan sebelum mandi ditepi sungai). Informasi awal tersebut akan sangat membantu untuk memandu dalam pembuatan sketsa, serta mengkonfirmasi isi ruang nagari yang akan ditampilkan dalam sketsa. Kemudian dalam sebuah FGD (Focus Group Discussion), dituangkanlah semua informasi keruangan tersebut menjadi sebuah sketsa peta. Informasi dalam sketsa peta biasanya memuat tentang posisi suatu lokasi, jaringan jalan, jaringan sungai, batas wilayah, serta tutupan atau penggunaan lahan. Selanjutnya sketsa inilah yang akan menjadi dasar tim survei dalam melakukan pengambilan data dilapangan.
Ketiga, pelatihan membaca peta dan mengoperasikan GPS. Pelatihan yang secara khusus ditujukan kepada tim inti ini, memiliki tujuan untuk memberikan pelatihan keterampilan cara mengoperasikan GPS, danmemberikan pemahaman tentang hubungan GPS dan peta. Dengan pelatihan ini, masyarakat diharapkan menjadi paham dan yakin apa yang dihasilkan oleh kerja GPS dalam sebuah peta, sesuai dengan fakta-fakta yang mereka ketahui dilapangan. Waktu yang dibutuhkan untuk pelatihan ini tidak lebih dari satu hari. Metodenya sangat praktis, dengan konten hampir 90% berupa praktek. Hal yang saya tekankan untuk memacu dan meyakinkan tim bahwa dia pasti bisa adalah, bahwa mengoperasikan GPS lebih mudah dari pada menggunakan ponsel. Jika kegunaan utama ponsel adalah untuk menelpon dan sms, maka kegunaan utama GPS adalah merekam jalur perjalanan (track log) dan menyimpan koordinat posisi suatu tempat (marking point).Untuk membuat tacklog kita cukup mengaktifkan menu track log, maka GPS akan merekam jalur perjalanan kemanapun kita melangkah. Kemudian untuk membuat marking point, kita cukup menekan salah satu tombol GPS, kemudian kita tinggal meng-entry nama lokasi dengan cara yangtidak lebih sulit dari membuat pesan pada sms.Beres.
Pada sesi ketiga inilah saya melihat Pelatihan ini benar-benar beda dengan pelatihan lainnya. Jika dibanyak pelatihan  kita tak jarang menyaksikan instrukturnya sibuk ‘ngoceh’ sedangkan pesertanya terkantuk-kantuk bahkan tertidur, maka di Pelatihan ini saya menjadi bagian instruktur yang tidur ketika para peserta sedang sibuk berkerja. Sesi tiga biasanya dilakukan setelah makan siang, jadi ketika tim sedang melakukan praktek survei yang memakan waktu sekitar dua sampai tiga jam. Instrukturnya cukup menunggu di base camp (biasanya rumah warga), sambil mendengarkan music dan tiduran hingga tim selesai melakukan survei. Setelah tim kembali, selanjutnya kita membahas dan mengkritisi bersama hasil survei yang sudah dilakukan. Setelah sesi tiga inilah kita bisa menyatakan ‘lulus’ atau tidaknya tim ini menjadi Kader Pemetaan, dan sejauh ini semua tim yang saya latih 100% lulus.  Â
Keempat, merancang perencanaan survei lapangan. Setelah tim dinyatakan lulus, hal yang harus dilakukan selanjutnya adalah merancang perencaan survei lapangan. Perencanaan survei lapangan, meliputi rencana dari mana survei akan dimulai, kapan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan, apa saja dan berapa banyak logistik yang diperlukan, serta perlu atau tidaknya tambahan orang diluar tim inti yang akan dilibat. Beberapa hal yang membedakan rencana survei oleh ‘tim ahli lokal’ dan ‘tim ahli dari luar’ adalah, waktu yang dibutuhkan bisa lebih cepat karena mereka mengenal ruang dan sangat terbiasa ‘berpetualang’. Kemudian kebutuhan logistic bisa lebih hemat, karena mereka tak membutuhkan ‘tetek bengek’ perlengkapan campingmacam orang kota, seperti tenda dom, sleeping bag, hemok, ransel carrier, trangia, sepatu tracking, serta berbagai suplemen makanan yang bisa macam-macam. Yang dibutuhkan cukup plastic hitam untuk tenda, karung untuk alas tidur, bahan makanan secukupnya, serta kebutuhan survival lainnya. Jauh lebih simpel.
Kelima, survei lapangan. Setelah perencanaan survei disusun dan kebutuhan lapangan disiapkan, maka survei lapangan pun sudah bisa dimulai. Saat survei lapangan dilakukan, ahli peta yang sudah mentransfer ilmunya bisa meninggalkan nagari bersangkutan dan ‘bergerilya’ ke desa lainnya untuk melakukan hal yang sama. Lalu kembali ke kampung tersebut saat survei sudah selesai untuk mengambil data lapangan hasil survei. Untuk mengawal proses dan mengatasi sedikit trouble yang mungkin terjadi selama proses pemetaan, ada fasilitator desa yang mengawalnya dan sudah dibekali tentang OKe SIPP sebelumnya.
Ketujuh, konsultasi public (KP). KP merupakan proses penyampaian hasil pemetaan partisipatif kepada para pihak yang ada di Kampung. Proses ini sekaligus menjadi bagian dari verifikasi, koreksi, dan evaluasi terhadap hasil survei yang sudah dilakukan tim yang terdiri dari anggota masyarakat nagari sendiri. Hal yang menarik dalam KP ini adalah, nara sumber utama yang mempresentasikan peta keruangan hasil survei adalah masyarakat sendiri yang terdiri dari tim survei. Selanjutnya para tokoh masyarakat setempat yang verifikasi, koreksi, dan evaluasi terhadap hasil survei yang sudah dilakukan. Hasil KP inilah yang kemudian menjadi masukan untuk finalisasi data dan rencana tindak lanjut kegiatan. Tugas ahli pemetaan titahap ini adalah memandu dan memberikan penjelasan-penjelasan teknis, seperti luas wilayah dan pembagian wilayah berdasarkan peta kawasan hutan.
Kedelapan, kroscek dengan desa tetangga. Kroscek ini merupakan proses verifikasi dengan nagari tetangga dengan tujuan untuk menghindari kesalahpahaman tentang wilayah yang seringkali menimbulkan terjadinya konflik batas antar desa. Tahapan ini menjadi ranah Pemerintahan desa dan para tokoh masyarakat desa yang bersangkutan.
Sejauh ini untuk menjalankan semua proses ini, berkisar antara 1 sampai 2 minggu tiap desa. Untuk tahap 1 – 4, waktu yang dibutuhkan maksimal 2 hari. Untuk tahap 5, sangat tergantung pada luasan desa dan jumlah tim yang akan diturunkan. Tahap 6, maksimal 3 hari. Tahap 7, cukup 1 hari. Tahap 8, bisa satu hari. Tahap 9, cukup 1 hari.
Sejauh ini metode OKe SIPP sudah diaplikasikan di Jambi dan Sumatera Barat (Sumbar). Di Jambi kita sudah mengaplikasikan metode OKe SIPP untuk pemetaan ruang mikro pada 9 desa dalam Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo. Sedangkan Di Sumbar metode OKe SIPP sudah diaplikasikan untuk pemetaan areal skema Perhutanan Sosial, di 12 Nagari dalam 7 Kabupaten.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H