"Apa yang kamu lakukan sekarang?"
Lanang memandang ke langit yang tertutup awan tebal. Wajahnya menunjukkan keresahan yang tak bisa disembunyikan. Pertanyaan yang sama terus berulang dalam otaknya.
Sudah hampir satu jam, dia bersandar pada tembok yang lembab. Duduknya pun taknyaman karena dia hanya duduk pada bangku seadanya yang ada di warung kopi sederhana pinggir jalan. Kopinya hampir habis tak bersisa tapi belum ada tanda-tanda dia akan beranjak pergi.
Dia menghela napas berat. Rindunya sudah taktertahan. Sudah sepuluh tahun dia takdapat menghilang bayangan wanita pujaannya. Dia selalu menari dalam labirin kepalanya. Entah dimana dia sekarang.
****
"Apa yang akan kamu lakukan setelah ini, Nang?" Suara lembut itu mengganggu konsentrasi menggambarnya.
Lanang mendongak melihat wajah ayu di hadapannya. Goresan penanya pun seketika terhenti.
"Aku mau melukis wajahmu setiap waktu," jawabnya yakin.
"Apa dengan melukis wajahku, kamu akan mendapatkan uang untuk menghidupi kita?" wajah ayu itu tertunduk ketika mengucapkannya.
Lanang terdiam.
"Aku ... yakin. Aku yakin aku bisa menghidupi kita, menghidupi keluarga kita nantinya." Namun, dia sendiri bisa merasakan getar dalam suaranya. Wanita berwajah ayu itupun sepertinya juga merasakan keraguannya.
"Tolong, jawablah dengan sungguh-sungguh. Aku ingin kamu memberi kepastian dalam hubungan kita. Aku ingin orang tuaku yakin akan hubungan kita. Kukira dengan jawaban asal-asalanmu ini tidak bisa menjamin kelangsungan hubungan kita."
Lanang kembali terdiam. Dia sudah tahu tentang perjodohan yang diatur oleh orang tuanya untuk wanita berwajah ayu, pujaan hatinya itu. Namun, tidak ada hal lain yang terpikir dalam pikirannya selain melukis.
"Yaa ... aku bisa saja melukis di jalanan, melukis tokoh-tokoh nasional, atau melukis apa saja yang nantinya bisa menjadi penghasilanku." Lanang hampir berteriak karena putus asa dalam usaha meyakinkan wanita itu.
"Yang benar saja, Nang. Itu tidak akan berhasil."
Kedua orang itu terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing beberapa waktu. Semesta pun tak bersuara, bahkan anginpun enggan berhembus membuat suasana menjadi lebih panas dari sebelumnnya.
"Diammu sudah menjawab semuanya, Nang. Maaf, aku akan pergi sekarang." Setelah berucap itu, wanita berwajah ayu berdiri dan melangkah menjauh. Tinggalah Lanang seorang diri memandang punggung itu menjauh.
****
Saat ini, Lanang tetap memikirkannya. Wanita berwajah ayu itu selalu menemani hari-harinya. Sepertinya halnya jingga yang selalu pergi meninggalkan matahari, begitupun Jingga meninggalkan hatinya dan tak pernah datang kembali. Â Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H