Mohon tunggu...
Freddy Alexander Simatupang
Freddy Alexander Simatupang Mohon Tunggu... Petani - Im Freddy

Saya Freddy A Simatupang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayah ..

17 Mei 2022   21:24 Diperbarui: 18 Mei 2022   14:22 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ayah

Pun suatu saat nanti aku akan dipanggil “Ayah”. Ayahku, anakku, tak dapat dipisahkan, keterkaitan yang begitu dalam, sama hal nya dengan ibu. 

Bercerita tentang ayah, tak sedikit dari anak yang memiliki sudut pandang yang sama tentang “Ayah”.

 Sosok Ayah memiliki tempat tersendiri di dalam hati masing-masing anaknya. 

Mereka menyimpannya jauh di dalam bilik hatinya, menaruhnya rapih dan menjaga nya dan terkadang diam-diam memberikannya pada Ayah.

Sore itu, aku duduk disudut teras rumah, hujan baru saja reda hanya gerimis yang masih awet. Kopi hangat dan goreng pisang masih setia menemani dalam suasana yang begitu tenang dan damai. 

Aku sendiri, rumah-rumah lain tertutup, tak seorang pun tetangga membukakan pintu nya. 

Mereka mungkin menikmati nyamannya sore itu di dalam rumah. Suasana ini membawaku hanyut dalam ingatan-ingatan masa kecil hingga remaja yang indah. 

Terlintas sosok Ayah dalam nostalgiaku.

Ya masa itu, saat masih sekolah dasar, hampir setiap hari di jam yang sama, aku selalu bertemu dengan Ayah meski tak membuat janji. 

Jam 11 Siang biasanya kami bertemu di depan gerbang sekolah. Dengan sepeda motor honda nya, dia sudah menunggu, larian kecilku yang tak sabar untuk bertemu. 

“Ayah…” kata yang pertama keluar dari mulut ku. Tergesa naik ke sepeda motor dan memeluknya. Kami pulang.

Tak banyak kata yang terucap dari nya, lemparan senyum, dan usapan di atas kepalaku itulah yang setiap hari ia lakukan di jam pertemuan kami. 

Tetapi, waktu itu lah yang selalu ku nantikan, jam pertemuan tanpa janji itu. 

Selama diperjalanan pulang, biasanya aku bercerita tentang jam istirahat yang telah ku selama di sekolah, aku bermain dengan si ini, si itu, kelerengku banyak, dan aku tak ada PR. 

Ayah tak banyak meresponnya, kebanyakan diam namun memperhatikan, sambil sesekali menanyakan pelajaran hari itu. 

Sesampai dirumah, Ibu lah yang akan sibuk, mengambil tasku, dan seruan untuk segera rapih-rapih. 

Ayah tak banyak komentar, seakan tugasnya sudah selesai, namun masih saja aku bercerita tentang hari itu dengan dia, sambil berlarian kesana kemari. 

Tak lelahnya aku. Seakan tak mau siangku berlalu, karena biasanya sore hari Ayah akan keluar dengan urusannya. Ku ingat, masa itu, hari-hari berlalu di jam pertemuan  yang tak dijanjikan itu.

Hujan turun lagi dengan intensitas yang lebih, ku minum kopi ku yang masih hangat. Nostalgia tadi menyeret kerinduan ku pada Ayah. 

Sosok Ayah memiliki tempat sendiri dalam diri ini. Jam pertemuan kami adalah waktu yang ku nantikan. 

Begitulah ia, tak banyak kata, tak cerewet juga, namun tetap saja membuatku takut membuat kesalahan. 

Tak  tahu mengapa, masa-masa kini, bercerita pada nya adalah hal spesial sekalipun jarang dan tak menentu waktunya. 

Semakin larut aku dalam suasana keheningan dibalik rintik hujan. 

Sesekali ku putar lagu “Ayah” melalui smaratphone digenggamanku. Sendu.

Berakhir nostalgia di sore itu setelah tetangga membuka pintu dan menghampiri bangku kosong disebelahku. 

Seketika sendu itu hilang beriringan bayang-bayang nostalgia yang belum usai.  

"by FAS"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun