Namun secara keseluruhan, jumlah bahan baku dan material pendukung di perusahaan yang menerapkan Just In Time ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang tidak menerapkannya.
Dan kembali ke faktor utamanya adalah menemukan pemasok yang bisa secara kontiniu memasok bahan baku bagi kelancaran produksi setiap kali bahan baku tersebut dibutuhkan.
Beberapa rekan yang saya ajak diskusi mengenai Just In Time ini berkomentar bahwa di salah satu perusahaan tempat saya bekerja yang menerapkan metode ini dirasakan memang "mau tidak mau" wajib dijalankan karena masa kadaluwarsa produknya yang pendek. Sementara produk konsumen lain yang masa kadaluwarsa panjang (bulanan hingga tahunan) dirasakan belum tepat menjalankan metode ini.
Jangan lupa bahwa Metode Just In Time ini bukan lahir dari perusahaan yang memproduksi produk dengan masa kadaluwarsa singkat. Just In Time ini justru lahir dari perusahaan otomotif : Toyota.Â
Jadi seharusnya kalau perusahaan otomotif bisa menjalankannya, perusahaan produk makanan dengan masa kadaluwarsa singkat jusa bisa, maka just In Time ini cocok dijalankan perusahaan apa saja tanpa memandang masa kadaluwarsa. Bahkan sudah banyak bukti bahwa dengan menerapkan Just In Time ini, mengalami keuntungan dalam peningkatan efisiensi kerja, efisiensi biaya hingga peningkatan produktifitas kerja.
Sekali lagi, tantangan utama menurut saya adalah di Team Sales. Mampukah Team Sales bekerja dengan mengandalkan analisa data sepenuhnya? Tantangan selanjutnya adalah mau kah manajemen bekerja dengan strategi Pull Sales, bukan lagi Push Sales?
Salam,
Freddy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H