Secara garis besar saya menilai alur cerita dalam film Bumi Manusia berjalan agak lambat. Selain itu juga timbul pertanyaan saya setelah film berakhir : mengapa pemilik rumah candu (ko Atjong?) ingin meracuni pelanggan setianya yang memberikan keuntungan bisnis bagi Ko Atjong?.
Saya hanya bisa menduga bahwa kemungkinan ini adalah konspirasi Atjong dengan Mauritz Mellema, anak dari istri pertama Herman Mellema yang ingin merebut harta warisan. Namun tidak ada benang merah bagaimana Mauritz Mellema bisa terhubung dengan Atjong.
 Tapi diluar kritik saya tersebut, ada beberapa poin positif yang saya catat dari pesan yang ingin disampaikan dalam Film Bumi Manusia ini :
1. Jurnalistik memiliki peran penting dalam menegakkan keadilan.
2. Kita diperlihatkan bagaimana pedihnya bangsa kita saat mengalami ketidakadilan sosial di masa penjajahan. Oleh sebab itu, tidaklah pantas kalau kita menyia-siakan nyawa yang dikorbankan para pejuang untuk meraih kemerdekaan, namun masih ada terjadi ketidak adilan bagi sesama anak bangsa di negeri kita.
Jujur, saya rindu menonton film produksi anak negeri yang bisa menampilkan suasana jaman dulu dimana masyarakatnya bersatu, suatu kondisi dimana saat itu belum ada merasa harus bertanya : kamu agama dan suku nya apa?
Film Bumi Manusia ini memenuhi kerinduan saya akan hal tersebut, dan semoga semakin banyak film dalam negeri yang mengangkat tema-tema serta suasana yang mengingatkan kepada kita semua akan indahnya kebersamaan kita, indahnya beragam budaya dan kearifan lokal di negeri tercinta Indonesia.
Ngomong-ngomong, saya jadi merasa bersalah pada film ini. Jangan-jangan ekspresi datar saya sepanjang film karena saya tidak fokus menikmati film, melainkan sibuk mencatat hal apa yang akan saya sampaikan dalam artikel ini.....
Salam,
Freddy Kwan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H