Mohon tunggu...
Freddy
Freddy Mohon Tunggu... Konsultan - Sales - Marketing - Operation

To complete tasks and working target perfectly. Leave path in a trail.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Bagaimana Sebaiknya Metode Regenerasi di Perusahaan Keluarga Dijalankan?

18 Agustus 2019   17:13 Diperbarui: 30 Agustus 2019   09:58 2247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

In Family business, The first generation founds the company and has the drive and the dedication to move it forward. The second generation rides the wave. It's the third generation that presents the big problems. The third generation wants to do their own thing. They've seen Broadway; they've had all the advantages (Gale Petronis)

Regenerasi di perusahaan keluarga memiliki tantangan yang lebih berat dibandingkan dengan perusahaan publik. Di perusahaan publik, pilihan untuk regenerasi kepemimpinan lebih luas, bisa dipilih dari internal atau eksternal. Namun di perusahaan keluarga, anak-anak founder merupakan pilihan utama (wajib), sehingga founder memiliki tantangan dalam mendidik generasi penerusnya untuk memegang tongkat estafet kepemimpinan.

Beberapa tahun lalu saya pernah diajak berdiskusi dengan seorang pengusaha senior mengenai kelangsungan hidup perusahaan di tangan generasi penerus. Kita berdiskusi mengenai perbedaan kondisi usia yang ditemuinya antara perusahaan di Jepang dengan perusahaan di Indonesia. 

Menurut beliau, perusahaan-perusahaan di Jepang pada umumnya berusia panjang hingga tangan beberapa generasi penerusnya, sementara di Indonesia, umumnya hanya bertahan di tangan generasi kedua, setelah itu banyak yang mengalami kejatuhan di tangan generasi selanjutnya.

Menurut beliau, perbedaan yang sangat menyolok adalah sistem kaderisasi generasi penerus antara orang tua pemilik usaha di Jepang dengan di Indonesia.

Kalau di Jepang, sebelum generasi penerus diberikan tongkat estafet kepemimpinan perusahaan, terlebih dahulu ia dibentuk dari bawah menjadi seorang staf, dipindahkan dari satu departemen ke departemen lain, baru mulai dipromosikan dari Supervisor, Manager, GM hingga Direktur, baru Direktur Utama. 

Sementara menurut pengamatan beliau, di Indonesia, orang tua pemilik usaha tidak melakukan kaderisasi generasi penerus dari bawah. 

Banyak yang setelah anaknya pulang kuliah dari luar negeri, langsung di tempatkan sebagai Direktur bahkan Direktur Utama. Akibatnya karena pemahaman operasional perusahaan nya yang kurang, ditambah dengan semangat membawa ilmu yang dipelajari dari luar negeri, kebijakan yang dihasilkan seringkali tidak tepat atau tidak cocok dengan kondisi di perusahaan orangtuanya. 

Memang saya bukan hanya pernah mendengar, melainkan juga pernah melihat langsung bagaimana sang anak dan sang ayah sering bertengkar di dalam forum meeting. 

Persoalan yang paling sering dibahas adalah: sang anak merasa metode yang diterapkan ayahnya sudah ketinggalan zaman, sementara sang ayah bersikeras bahwa metode nya yang dijalankan sudah tepat. 

Lalu apakah metode kaderisasi generasi penerus milik orang Jepang adalah satu-satunya yang paling tepat?.

Saya memahami metode kaderisasi milik orang Jepang sebagai upaya dari ayah agar anaknya memahami operasional perusahaan secara menyeluruh. Karena sang anak disiapkan menjadi penggantinya, maka sang anak diharapkan memahami bagaimana proses yang berjalan di perusahaan milik ayah, mengenal orang-orang yang bekerja pada perusahaan ayahnya.

Untuk alasan ini, saya setuju kita mengadopsi metode kaderisasi orang Jepang. Dengan berbaur dan memulai karir dari bawah, sekat antara status sebagai anak pemilik perusahaan menjadi lebih tipis. Sehingga sang anak bisa mengenal lebih dekat bukan saja orang per orang, namun juga permasalahan yang terjadi dibawah yang seringkali diabaikan atasan atau juga yang sungkan disampaikan oleh bawahan kepada atasan di perusahaan milik ayah. 

Di samping itu anak bukan hanya memahami semua aspek operasional di perusahaan, namun juga menguasai semua permasalahan dalam perusahaan milik ayahnya. Ia akan tahu celah lubang mana yang harus ia tutup atau kran mana yang harus dibuka lebih besar. Lagipula bukankah kebijakan yang tepat lahir dari pemahaman situasi yang baik?.

Kembali ke cerita pengusaha senior tersebut, beliau cerita bagaimana kekagumannya pada metode kaderisasi milik orang Jepang dan berniat menerapkannya di perusahaan miliknya kepada anak-anaknya. 

Jadi saat anak tertuanya kembali ke Indonesia setelah selesai kuliah dari luar negeri, anaknya "digembleng" dari bawah. Beliau menempatkan anaknya mulai dari posisi logistik dengan pekerjaan mulai dari mengangkut barang-barang. 

Hasilnya? Sang anak sering mengadu perlakuan ayahnya kepada ibu-nya. Ayah dan ibu nya menjadi sering bertengkar gara-gara urusan kerjaan anaknya, serta akhirnya sang anak keluar dari perusahaan milik ayahnya.

Saya sendiri dari awal kurang setuju dengan metode tersebut. Mendidik anak untuk memahami operasional perusahaan milik ayah tidak harus se-ekstrim itu. 

Memang benar anak harus mendapat pengalaman dari posisi bawah, tapi tidak harus selalu dimulai dari posisi buruh maupun pekerjaan kasar. Paling tidak mulailah dari level staf. Tujuannya kan memberikan pengalaman kerja kepada anak, bukan men-plonco anak kan... 

Seperti hampir semua orang yang kini duduk di posisi pemimpin, bukankah dulu juga mengawalinya dari posisi bawah. Ada yang memulainya dari posisi staf, bahkan ada juga yang mengawali karir dari posisi Office Boy dan berhasil menduduki jabatan direktur di perusahaan perbankan internasional. Demikian juga proses kaderisasi anak juga membawa semangat yang sama. Bedanya, bekerjanya di perusahaan milik keluarga sendiri.

Kemudian menurut saya, dengan memahami proses operasional secara menyeluruh di perusahaan milik sang ayah, anak juga diharapkan tidak serta merta merombak sistem dan metode kerja. Dengan memahami, maka proses perubahan juga bisa dilakukan setahap demi setahap sesuai kebutuhan dan perkembangan perusahaan.

Sebaliknya kalau anak tidak memahami proses operasional secara menyeluruh, memang ada kecenderungan untuk melakukan perubahan secara radikal yang pasti ditentang oleh sang ayah. Ini lah sebabnya mengapa tanpa metode kaderisasi yang tepat, sering timbul friksi antara pemikiran anak dengan ayahnya.

Namun proses kaderisasi guna memahami proses operasional perusahaan secara menyeluruh bukanlah satu-satunya faktor penentu panjang atau pendeknya usia perusahaan bertahan. Memahami proses operasional penting, namun menurut saya juga dibutuhkan hal lain dari sang anak generasi penerus:

  1. Visi yang jelas mau dibawa kemana perusahaan milik ayahnya, sesuai dengan perkembangan zaman
  2. Inovasi & Perencanaan yang matang
  3. Kemampuan mengorganisir perusahaan dalam merealisasikan tahapan-tahapan rencana kerja
  4. Membangun team dan karyawan yang profesional

Saya percaya bahwa kaderisasi penting. Sekali lagi, sistem ini akan membantu anak selaku penerima tongkat estafet kepemimpinan dari ayah memahami keseluruhan operasional dan permasalahan yang terjadi di perusahaan ayahnya, sehingga akan membantu sang anak menentukan tahapan dan langkah perbaikan atau peningkatan kinerja.

Dan walaupun sistemnya tidak sama persis dengan di Jepang, saya melihat beberapa pendiri perusahaan di Indonesia berhasil dalam melakukan kaderisasi generasi penerusnya dan berkembang pesat di tangan mereka. Sebut saja : Anthony Salim (Salim Group), Putera Sampoerna (Sampoerna Group), Robert Budi Hartono (Djarum), Aburizal bakrie (Bakrie), serta banyak lagi. 

Terakhir, yang saya ketahui dan kenal langsung generasi kedua penerus usaha orang tuanya; Maya Watono. Beliau mewarisi usaha bidang periklanan Dwi Sapta dari ayahnya, Bp. Adji Watono, namun ditangan Maya Watono, manajemen perusahaan tertata semakin baik, dan walaupun sekarang Dwi Sapta Advertising telah diakuisisi oleh Dentsu, namun berkat kepiawaian kerja maya Watono, Posisi CEO tetap dipercayakan di tangan Maya Watono. 

Dan baru-baru ini Maya Watono membuktikan bahwa posisi yang dipegangnya bukan serta merta warisan dari ayahnya, melainkan juga kerja keras dari Maya Watono. Di tahun 2019 ini, Maya Watono dan team Dentsu berhasil mendapat penghargaan Woman of The year dari Majalah SWA. Congrats!.

Best Regards,
Freddy Kwan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun