Mohon tunggu...
Freddy
Freddy Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Bisnis - Pembicara - Penulis - Aktivis

Better is not enough. The best is yet to come

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Politik Kantor

22 Mei 2019   09:05 Diperbarui: 22 Mei 2019   11:01 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aristotle:

Man is by nature a political animal

Kalau kita mendengar kata kata ini : POLITIK KANTOR, terasa tidak enak di dengar di telinga. Tidak pantaslah di kantor berpolitik. Kalau mau berpolitik, yah di DPR, DPRD, jangan dibawa-bawa ke kantor. Saya pribadi sangat tidak setuju dengan politik di kantor sama sekali. Buat saya, politik di kantor membuat yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar. Padahal seharusnya di kantor menjunjung profesionalisme kerja.

Namun akhirnya saya menyadari bahwa politik itu tidak bisa dihindari, karena politik ada dalam setiap sendi kehidupan kita. Tidak hanya di DPR-DPRD, kantor, melainkan juga di sekolah bahkan di rumah. Politik adalah sifat alamiah yang kita miliki sebagai manusia.

Di rumah ayah berpolitik mengajak anak, 'bersekutu' menggolkan keinginannya utk berlibur ke tempat yg di-mau sang ayah ("kalau kita ke bali, nanti papa ajak main banana boat. Kalau liburan ke tempat eyang, kan gak ada banana boat..."). Atau kakak berpolitik mengajak adik bersama-sama merayu orang tua membelikan playstation ("nanti kakak ajarin adik dan kita main berdua. Pasti seru" -- pas sdh di beli, ternyata kakak lebih sering bermain dengan teman-temannya daripada sang adik). Di sekolah, mungkin kita akan mengajak teman sekelas kita meminta menolak tes mendadak di hari tersebut hanya karena kita dan beberapa teman sekelas tidak belajar akibat asyik keluyuran semalam. Atau diantara kita juga pernah mempengaruhi temen-teman untuk ikut membenci sesama teman sendiri, hanya karena ia menolak memberikan contekan kpd kita di saat ujian.

Kalau politik ada dalam sendi kehidupan kita, lalu mengapa kita alergi terhadap politik?.

Kita alergi karena selama ini kita lebih banyak melihat politik digunakan secara salah. Politik digunakan sebagai aksi atasan membeking anak buah kesayangan yg setiap hari hanya bisa menyanjung dirinya, bukan menilai dari hasil pekerjaan. Politik digunakan untuk menyingkirkan rekan kerja setingkat yg lbh pintar dan berpotensi mengalahkan kita dlm perebutan promosi jabatan. Politik digunakan mempertahankan jabatan padahal kita sadar bahwa kita tidak mampu.

Siapa sih yang paling bertanggung jawab terhadap permainan politik yg terjadi di sebuah perusahaan?

Akan selalu ada karyawan, dari level staf maupun manager bahkan direksi yang lebih mengandalkan 'kepintaran' berpolitik karena menyadari kelemahannya dlm bekerja. Sesungguhnya politik di kantor tidak akan pernah ada kalau tdk "diijinkan" pimpinan perusahaan. Politik kantor itu sifatnya Top-Down, bukan Bottom-Up.

Seorang pemimpin dengan leadership yang baik dan kuat akan menghindari dari upaya bawahannya memainkan politik. Apabila profesionalisme yang dijunjung; tegas dan objektif dalam menilai kinerja bawahan; bawahan tidak akan berani memainkan jurus2 politiknya.

Namun kalau pemimpin lemah: tidak mampu bersikap profesional, tidak mampu menilai secara baik dan benar, lebih subjektif daripada objektif, hanya ingin mendengar jawaban Asal Bapak Senang dari bawahan, maka politik akan mendominasi dlm perusahaan tersebut. Kalau sudah begitu, karyawan lulusan terbaik, titel S-2 dari perguruan tinggi ternama pun tdk akan ada gunanya. Lupakan titel dan prestasi kerja. Lupakan profesionalisme. Karyawan di perusahaan ini bukannya berlomba mengukir prestasi kerja, malah berlomba menyenangkan hati atasannya sembari menjatuhkan "kubu lawan" dlm perusahaan. Dalam kasus nyata, seorang Sales Manager yang tidak berprestasi bisa menggeser posisi atasannya: National Sales Manager, hanya karena sang Sales Manager lebih "pintar mengambil hati" direkturnya. Ironi bukan? Karyawan dengan idealisme tinggi terhadap profesionalisme kerja tidak akan pernah berhasil disini. Bukan disini tempatnya.

Nah, kalau karyawan yang mengandalkan profesionalisme kerja ramai ramai keluar dari perusahaan tersebut, bagaimana perusahaan tersebut kelak masih bisa berkembang dengan baik? Sejujurnya, dari pengalaman saya bekerja selama ini, saya belum pernah melihat ada perusahaan maju dan berkembang pesat karena mengandalkan politik kantor daripada profesionalisme. 

Mengapa? Karena di perusahaan tersebut, setiap individu saling berperang sendiri antar kubu internal demi kepentingan masing-masing: menjatuhkan sesama rekan dalam satu perusahaan; bukan fokus untuk memenangkan pertempuran eksternal : mengalahkan kompetitor dalam bisnis. Sungguh ironis bukan?.

Lalu apa yang bisa kita lakukan kalau kita terlanjur masuk ke dalam perusahaan seperti ini? 

Sebagai orang baru, jangan terlalu mendominasi, jangan terlalu mencolok. Lihat situasi, baca peta kekuatan orang orang di dalam perusahaan, mana yang menjadi kepercayaan pemimpin perusahaan. Dekati. Jangan banyak protes, ambil hatinya dengan selalu meng-iya-kan saja apa kata pimpinan. Tapi sebagai profesional, bukan itu yang kita mau kan?

Lalu, apakah tidak ada lagi hal yang bisa lakukan utk memperbaiki kondisi politik kantor? 

Kalau anda menduduki pemimpin di posisi tinggi, sangat bisa. Bahkan anda harus mengubah budaya kerja lama dari politik menuju profesional. Karena hanya profesionalisme yang bisa membuat perusahaan maju berkembang dengan baik.

Tapi kalau anda masuk di posisi bawahan, bukan pembuat keputusan, pendapat pribadi  saya: sulit untuk mengubahnya. Ingat politik kantor yang kemudian menjadi budaya itu Top-Down, bukan Bottom-Up. Tapi tetap ada saja yang bisa anda lakukan. Minimal dengan menjaga profesionalisme diri sendiri utk tidak terjebak dalam politik kerja.

Memang kadangkala, ada pemilik perusahaan yang membiarkan politik kantor berkembang dalam perusahaannya. Harapannya, apabila terdapat beberapa kubu dalam perusahaannya, maka otomatis mereka akan saling mengawasi. Lebih repot kalau semua karyawan dalam perusahaannya bersatu, bisa-bisa semua saling berkolusi melakukan korupsi massal. Namun tetap saja mengijinkan karyawan berpolitik di kantor bukan keputusan yang bijak. 

Untuk mencegah "kongkalikong" antar karyawan dalam perusahaannya, pemilik perusahaan bisa membentuk Team Audit & Compliance yang langsung bertanggung jawab kepada pemilik. Ini jauh lebih bijak daripada membiarkan politik kantor berkembang dan menjadi budaya di perusahaannya. Lagi pula belum pernah ada berita bahwa karyawan perusahaan yang menjunjung asas profesionalisme kerja lantas beramai-ramai korupsi atau membiarkan korupsi tumbuh dan berkembang di perusahaan tersebut kan?.

Di awal tulisan saya memang sependapat bahwa politik itu ada dalam setiap sendi kehidupan kita, tapi hal ini tidak bisa menjadi pembenaran untuk membawa politik dalam setiap tindakan kita, ke semua lingkungan kita: rumah, kantor, bahkan tempat kita beribadah. Kita harus pintar memilah, kapan dan dimana kita harus berpolitik atau bersikap profesional. 

Analogi sederhananya: api itu baik untuk manusia kalau digunakan untuk memasak atau pembangkit tenaga, atau hal yang berfaedah. Tapi api menjadi buruk kalau digunakan dengan sengaja untuk membakar rumah atau kendaraan orang lain yang jelas-jelas merugikan. Bijaklah dalam berpolitik. Tapi masalahnya kalau sudah berpolitik, seringkali kita menjadi takabur. Dan saya sendiri tetap pada pendirian bahwa budaya kerja atas dasar politik lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Bahkan dalam pandangan saya, politik kantor adalah cermin dari kegagalan kepemimpinan dalam perusahaan tersebut. Om saya yang sudah almarhum: om Steve Jobs, juga sependapat dan pernah berpesan : In weak companies, politics win, but in strong companies, best ideas do.

 

Akhir kata, saya ingin mengutip quotes dari orang-orang terkenal mengenai sisi buruk dari politik dengan harapan agar bagi yang saat ini bekerja lebih mengandalkan  politik daripada profesionalisme, agar segera bertobat dan kembali ke jalan yang benar.

Niccolo Machiavelli: politics have no relation to morals

Napoleon Bonaparte: in politics, stupidity is not a handicap

 

Salam,

 

Freddy Kwan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun