Namun kalau pemimpin lemah: tidak mampu bersikap profesional, tidak mampu menilai secara baik dan benar, lebih subjektif daripada objektif, hanya ingin mendengar jawaban Asal Bapak Senang dari bawahan, maka politik akan mendominasi dlm perusahaan tersebut. Kalau sudah begitu, karyawan lulusan terbaik, titel S-2 dari perguruan tinggi ternama pun tdk akan ada gunanya. Lupakan titel dan prestasi kerja. Lupakan profesionalisme. Karyawan di perusahaan ini bukannya berlomba mengukir prestasi kerja, malah berlomba menyenangkan hati atasannya sembari menjatuhkan "kubu lawan" dlm perusahaan. Dalam kasus nyata, seorang Sales Manager yang tidak berprestasi bisa menggeser posisi atasannya: National Sales Manager, hanya karena sang Sales Manager lebih "pintar mengambil hati" direkturnya. Ironi bukan? Karyawan dengan idealisme tinggi terhadap profesionalisme kerja tidak akan pernah berhasil disini. Bukan disini tempatnya.
Nah, kalau karyawan yang mengandalkan profesionalisme kerja ramai ramai keluar dari perusahaan tersebut, bagaimana perusahaan tersebut kelak masih bisa berkembang dengan baik? Sejujurnya, dari pengalaman saya bekerja selama ini, saya belum pernah melihat ada perusahaan maju dan berkembang pesat karena mengandalkan politik kantor daripada profesionalisme.Â
Mengapa? Karena di perusahaan tersebut, setiap individu saling berperang sendiri antar kubu internal demi kepentingan masing-masing: menjatuhkan sesama rekan dalam satu perusahaan; bukan fokus untuk memenangkan pertempuran eksternal : mengalahkan kompetitor dalam bisnis. Sungguh ironis bukan?.
Lalu apa yang bisa kita lakukan kalau kita terlanjur masuk ke dalam perusahaan seperti ini?Â
Sebagai orang baru, jangan terlalu mendominasi, jangan terlalu mencolok. Lihat situasi, baca peta kekuatan orang orang di dalam perusahaan, mana yang menjadi kepercayaan pemimpin perusahaan. Dekati. Jangan banyak protes, ambil hatinya dengan selalu meng-iya-kan saja apa kata pimpinan. Tapi sebagai profesional, bukan itu yang kita mau kan?
Lalu, apakah tidak ada lagi hal yang bisa lakukan utk memperbaiki kondisi politik kantor?Â
Kalau anda menduduki pemimpin di posisi tinggi, sangat bisa. Bahkan anda harus mengubah budaya kerja lama dari politik menuju profesional. Karena hanya profesionalisme yang bisa membuat perusahaan maju berkembang dengan baik.
Tapi kalau anda masuk di posisi bawahan, bukan pembuat keputusan, pendapat pribadi  saya: sulit untuk mengubahnya. Ingat politik kantor yang kemudian menjadi budaya itu Top-Down, bukan Bottom-Up. Tapi tetap ada saja yang bisa anda lakukan. Minimal dengan menjaga profesionalisme diri sendiri utk tidak terjebak dalam politik kerja.
Memang kadangkala, ada pemilik perusahaan yang membiarkan politik kantor berkembang dalam perusahaannya. Harapannya, apabila terdapat beberapa kubu dalam perusahaannya, maka otomatis mereka akan saling mengawasi. Lebih repot kalau semua karyawan dalam perusahaannya bersatu, bisa-bisa semua saling berkolusi melakukan korupsi massal. Namun tetap saja mengijinkan karyawan berpolitik di kantor bukan keputusan yang bijak.Â
Untuk mencegah "kongkalikong" antar karyawan dalam perusahaannya, pemilik perusahaan bisa membentuk Team Audit & Compliance yang langsung bertanggung jawab kepada pemilik. Ini jauh lebih bijak daripada membiarkan politik kantor berkembang dan menjadi budaya di perusahaannya. Lagi pula belum pernah ada berita bahwa karyawan perusahaan yang menjunjung asas profesionalisme kerja lantas beramai-ramai korupsi atau membiarkan korupsi tumbuh dan berkembang di perusahaan tersebut kan?.
Di awal tulisan saya memang sependapat bahwa politik itu ada dalam setiap sendi kehidupan kita, tapi hal ini tidak bisa menjadi pembenaran untuk membawa politik dalam setiap tindakan kita, ke semua lingkungan kita: rumah, kantor, bahkan tempat kita beribadah. Kita harus pintar memilah, kapan dan dimana kita harus berpolitik atau bersikap profesional.Â