“I just think some women aren’t made to be mothers. And some women aren’t made to be daughters.”
Kepergian selalu meniscayakan kepulangan. Setinggi-tingginya bangau terbang, ke sarangnya ia akan pulang. ‘Pulang’ berarti kembali ke tempat asal, ke titik bumi dari mana seseorang berangkat, dulu. Titik itu disebut dengan rumah. Penyair Ralph Waldo Emerson menyebut rumah ialah tempat yang ingin kau tinggalkan ketika sedang tumbuh dan ingin kau kembali ketika mulai menua.
Pulang ke rumah sejatinya bukan sekedar membawa tubuh kembali ke bangunan fisik tempat dimana masa kecil dihabiskan bersama dengan keluarga. Lebih dari itu itu, penyair Kahlil Gibran menyebut, “Rumahmu adalah tubuhmu yang lebih luas”. Oleh karena itu, rumah sebenarnya tidak pernah ditinggalkan. Rumah selalu dekat karena ia adalah jiwa seseorang yang ikut dibawa ke manapun.
Penulis Maya Angelou juga percaya bahwa seseorang tak pernah bisa meninggalkan rumah. Ia percaya bahwa seseorang membawa bayangan dan ketakutan-ketakutan di bawah kulitnya sendiri, di sudut yang tajam dari mata seseorang, mungkin juga di bawah tulang rawan daun telinga.
Namun, pulang menjadi sesuatu yang tidak diinginkan Camille Preker, reporter kriminal di The Daily Post, Chicago. “Entah kenapa, cerita tentang kampung halamanku, topik yang ingin kuhindari,” ujarnya. Tempatnya pulang itu adalah kota bernama Wind Gap di Missouri, yang oleh Camille disebut sebagai kota payah penuh petaka. Kota kecil berpopulasi sekitar 2 ribu orang itu ditempuh 11 jam perjalanan darat dari Chicago.
Tapi Camille harus pulang. Redakturnya, Frank Curry, memerintahkannya meliput mengenai pembunuhan dua anak perempuan yang terjadi di Wind Gap. Kedua korban, Ann Nash dan Natalie Keene, dibunuh dengan cara keji sekaligus aneh: tercekik, gigi dicabut, dan didandani. Curry meminta Camille berada disana hingga pelaku tertangkap. Curry mengiming-imingi, bila peliputannya sukses, Pulitzer sangat mungkin diraih.
Selama melakukan reportase itu, Camille menginap di rumah orang tuanya yang tidak pernah dikunjunginya selama bertahun-tahun. Ada masalah dalam diri Camille dengan keluarganya. Ibunya, Adora Crellin, yang kaya karena bisnis ternak dan penjagalan babi, tidak pernah menyayanginya. Ayah tirinya, Alan Crellin sosok yang sangat kaku, sangat sedikit berbicara dengannya.
Ia memiliki adik tiri, seorang gadis berusia 13 tahun bernama Amma yang aneh dan tak bisa dipahaminya. Sebelum Amma, ia memiliki adik perempuan bernama Marian. Marian meninggal saat berusia 13 tahun karena sakit yang misterius.
Camille sendiri adalah perempuan yang aneh. Ia punya sifat masokis, yang ia lakukan dengan mengiris tubuhnya sendiri berupa kata-kata dengan silet. Luka di sekujur tubuh yang ia ciptakan sendiri itu menyebabkan ia selalu memakai baju dan celana panjang, serta tidak pernah berhubungan seks dengan siapapun selama 10 tahun.
Wind Gap tidak menyambut baik kedatangan Camille. Polisi setempat Bill Vickery menolak untuk dimintai pernyataan tentang kasus yang tengah diselidikinya. Ia pergi ke keluarga Nash dan Keele untuk mendapatkan cerita dari keluarga korban. Ia pergi ke siapa saja di kota itu untuk mengorek apa yang sebenarnya terjadi. Berbagai potongan informasi berhasil ia dapatkan, meski diwarnai berbagai pengusiran dan penolakan dari beberapa narasumber.
Dua gadis yang terbunuh memiliki riwayat yang keji. Ann pernah membunuh burung peliharaan tetangga sementara Natalie pernah menusuk mata teman sekelasnya. Keduanya menggunakan gunting. Keduanya juga punya sifat nakal: gemar menggigit.
Selama penyeledikan, ia mulai memahami keanehan karakter adiknya Amma. Meski masih berusia 13 tahun, Amma bersama dengan gadis-gadis seusianya sudah melakukan hal-hal yang menyimpang dari usianya: seks, obat-obatan, hingga yang aneh, sifat sadisme yang dimilikinya. Amma sangat menikmati proses penjagalan babi.
Camille berhasil mengungkap rahasia ibunya. Adora yang mengidap hipokondria juga punya kelainan menderita sindrom Munchausen by Proxy (MBP). Kelainan itu menyebabkan Adora terobsesi untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa ia adalah orang yang baik dan perhatian. Caranya, Adora kerap memberi Amma berbagai pil atau obat yang menyebabkan Amma sakit. Karena sakit, Amma akan mendapat perhatian dari Adora. Camille pun akhirnya mengetahui bagaimana yang dialami Marian.
Keengganan Camille untuk pulang adalah akibat perlakuan Adora yang buruk bagi putrinya itu, baik Marian maupun Amma. Ia merasa, dirinya, Marian maupun Amma kacau karena kondisi rumah yang diciptakan Adora. Adora sendiri pun ternyata tumbuh menjadi ibu yang buruk akibat perlakuan buruk ibunya Joya, nenek Camille.Rumah mereka di Wind Gap lebih banyak menciptakan ketakutan dibanding kenyamanan.
Gillian Flynn menciptakan rasa suram (dark) dan dingin (chill) ketika membaca novel ini. Konflik batin/psikologis para tokoh terasa absurd tetapi tetap bisa dinikmati karena unsur misteri tentang siapa pelaku di belakangnya cukup menciptakan penasaran. Dan bukan Flynn bila tak ada kejutan di akhir cerita. Misteri yang baik adalah misteri yang membangun prasangka pembaca pada satu titik sejak awal cerita, kemudian menjungkirbalikkannya di akhir cerita.
Ada kemiripan novel pertama Flynn ini dengan dua novel berikutnya: Gone Girl dengan perempuan misteriusnya dan Dark Places dengan masa lalu dan rumahnya yang suram. Berbeda dengan karya pengarang lain yang umumnya menempatkan perempuan cenderung sebagai korban, dalam novel ini Flynn menempatkan tokoh perempuan dengan kelainan mental dan psikologi, dan bertindak sebagai korban sekaligus pelaku.
Secara keseluruhan, Sharp Objects adalah cerita tentang perempuan yang jahat: ibu jahat, anak perempuan jahat, dan saudari tiri yang jahat. Karena itulah, Camille tak pernah ingin pulang ke rumah.
Judul Novel: Sharp Objects (Segala yang Tajam) | Penulis:Gillian Flynn| Tahun Terbit: 2007 | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Penerjemah: Ariyantri Eddy Tarman | Tebal: 331
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H