Mohon tunggu...
Fredick Ginting
Fredick Ginting Mohon Tunggu... Freelance -

Belajar ilmu politik dari Harold Laswell sampai Samuel Huntington, belajar demokrasi dari Thomas Jefferson sampai Ernesto Laclau. Menonton karya David Fincher sampai Martin Scorsese, mengagumi Charlize Theron sampai Jennifer Lawrence.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengejar Sisi Gelap Masa Lalu

16 Februari 2017   10:27 Diperbarui: 16 Februari 2017   10:59 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang menjadi perhatian Kill Club adalah siapa pelaku sebenarnya. Mereka yakin bukan Ben. Mereka mendebat Libby soal hal ini. Bagi Libby, bila Ben bukanlah pelaku mengapa ia tidak pernah menggugat dan memperjuangkan kebebasannya.

Tapi Libby betul-betul sedang butuh uang. Atas permintaan Lyle, ia bersedia menjumpai orang-orang yang terkait atas pembantaian itu. Hati kecil Libby sebenarnya juga memiliki pertanyaan atas fakta di malam kejadian itu. Karena sebenarnya ia tahu, ia juga berbohong ketika ditanyai petugas tentang kesaksiannya malam itu.

Libby akhirnya terdorong untuk melakukan investigasi demi menemukan kebenaran masa lalunya itu. Ia mulai menjumpai Ben (Corey Stoll), Runner, teman kecil Ben bernama Trey Teepano (J LaRose), hingga pacar Ben bernama Diondra (Andrea Roth). Diondra sekali bertanya, “Untuk apa kau mencari kebenaran. Apa dengan itu kau akan menemukan kedamaian?”

Investigasi Libby inilah yang menjadi inti utama dalam film ini. Alur flashback ditampilkan untuk melengkapi hal tersebut. Dijelaskan bahwa pangkal utama masalah yang dihadapi keluarga Libby kala itu adalah keputusasaaan.

Kembali ke 1985, sang ibu, Patty, digambarkan sebagai kepala keluarga untuk keempat anaknya. Tidak ada pendapatan pasti. Meski memiliki lahan pertanian dan ternak, Patty tak punya keterampilan memanfaatkan hal tersebut. Sementara Runner bersifat abusif dan hanya mengacaukan keadaan: datang sesekali untuk mengambil uang dari Patty. Patty menyebut pernikahannya dengan Runner adalah ‘kecelakaan’ baginya.

Hal yang menambah beban pikiran Patty adalah kelakuan Ben, anak sulungnya. Ben yang mulai menginjak remaja terjerumus pada pergaulan sesat okultisme. Amerika pada dekade itu dikenal sebagai masa berkembangnya anak-anak muda yang memuja setan. Sejalan dengan naik daunnya musik metal yang disebut-sebut membawa simbol-simbol setan.

Ben terjerumus pada perilaku-perilaku ‘setan’: merokok, mabuk, konsumsi ganja, seks bebas, hingga membunuh ternak yang dianggap sebagai bentuk ritual pengorbanan untuk setan yang disembah. Perilaku Ben yang menyimpang ini semakin runyam setelah ia dituduh melakukan pelecehan seksual di sekolah.

“Kalau keadaan rumah tidak kacau, Ben tidak akan seperti itu,” sesal Patty. Itulah puncak dari keputusasaan Patty. Ia berprinsip “hidup harus berguna”. Ketika menyadari ia gagal memang prinsip tersebut, disitulah hal menyedihkan ini datang: “mati yang berguna”. Bagian inilah yang ditelusuri oleh Libby. Ia masih terlalu muda untuk memahami sebuah ruang gelap yang menimpa keluarganya di masa itu.

Keputusasaaan yang dialami keluarga Day bersumber dari kemiskinan yang membelenggu keluarga tersebut. Kemiskinan membuat kehidupan keluarga Day tidak beraturan. Ketidakharmonisan Patty dengan Runner memperparah hal tersebut dan kemudian berimbas lebih buruk pada anak-anaknya, terutama Ben yang akhirnya merasa tak berharga. Dengan mudahnya ia terprovokasi temannya untuk mengikuti ritual pemuja setan demi melepaskan cap ‘pecundang’ yang dilabelkan pada dirinya.

Film bergenre Dark Places ini punya kekuatan dalam memberikan rasa penasaran penonton untuk ikut mencari kebenaran bersama Libby. Kebenaran itu disampaikan melalui twist-twist(kejutan) kecil yang tersebar di sepanjang cerita. Untuk tidak menjadi misteri yang biasa saja, cerita perlu dikemas menjadi tidak terprediksi, dan Dark Places melakukan itu.

Film ini diadaptasi dari novel karangan Gillian Flynn yang sebelumnya sukses dengan Gone Girl-nya yang juga difilmkan. Tema utama yang diangkat sebenarnya tidak berbeda jauh. Para kritikus menganggap Gilles Paquet-Brenner tidak mengeksekusi Dark Places ini sebaik sang maestro David Fincher membuat Gone Girl (2014). Meski demikian, film ini tak kalah soal aktris utamanya. Charlize Theron dengan tampilan lusuhnya tampil sebaik Rosamund Pike yang misterius dalam Gone Girl.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun