Mohon tunggu...
FRAZILA HANZELA
FRAZILA HANZELA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Magister Hukum, Universitas Andalas

Seorang yang suka traveling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Kasus Arbitrase PT. Bintang Express Sarana vs PT. Wijaya Karya Realty

15 Oktober 2024   22:37 Diperbarui: 15 Oktober 2024   22:43 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

by Frazila Hanzela, Syaira Chairunissa, Umni Khoirunnisa

Dalam dunia bisnis modern di Indonesia, arbitrase telah menjadi salah satu pilihan utama penyelesaian sengketa karena dianggap lebih cepat, fleksibel, dan efisien dibandingkan dengan jalur pengadilan umum. Kasus PT Bintang Express Sarana (BES) vs PT Wijaya Karya Realty (WIKA Realty) yang diadili melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) memberikan gambaran penting mengenai proses arbitrase, dasar hukumnya, kekuatan putusan arbitrase, serta bagaimana sengketa ini berlanjut hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

Proses Arbitrase

Arbitrase dalam kasus ini berawal dari sengketa terkait pelaksanaan kontrak proyek pembangunan antara PT Bintang Express Sarana dan PT Wijaya Karya Realty. PT BES menuduh WIKA Realty melakukan wanprestasi atau pelanggaran terhadap perjanjian kontrak, sehingga mengajukan klaim ke BANI untuk mendapatkan ganti rugi. Sesuai dengan ketentuan dalam kontrak yang mencantumkan klausul arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa, proses hukum dilakukan melalui arbitrase.

Di BANI, kedua belah pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan argumen dan bukti masing-masing dalam sidang arbitrase yang bersifat tertutup. Salah satu keunggulan arbitrase adalah fleksibilitasnya, di mana pihak-pihak dapat memilih arbitrator yang memiliki keahlian khusus dalam bidang terkait. Dalam sidang arbitrase ini, BANI memutuskan untuk memenangkan PT BES, dan memerintahkan WIKA Realty untuk membayar sejumlah ganti rugi yang diminta.

Proses arbitrase yang lebih cepat dibandingkan pengadilan umum sering menjadi alasan utama dipilihnya metode ini. Dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan proses litigasi biasa, BANI berhasil mencapai putusan final yang diharapkan dapat segera dieksekusi oleh kedua pihak.

Dasar Hukum Arbitrase

Arbitrase di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. UU ini memberikan kerangka hukum yang jelas bagi penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum dan memastikan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mengikat. Artinya, setelah majelis arbitrase memutuskan, putusan tersebut harus dipatuhi oleh para pihak tanpa adanya banding atau kasasi di pengadilan umum, kecuali dalam kondisi yang sangat terbatas.

Dalam kasus ini, keberadaan klausul arbitrase dalam kontrak antara PT BES dan WIKA Realty menjadi landasan hukum bagi BANI untuk menangani sengketa tersebut. Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, menggarisbawahi sifat final dari arbitrase. Namun, UU ini juga memberi peluang bagi salah satu pihak yang tidak puas untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase di pengadilan negeri jika ada dugaan kuat bahwa proses arbitrase cacat hukum atau melanggar ketertiban umum

Selain itu, UU ini juga menegaskan bahwa arbitrase hanya dapat dibatalkan melalui pengadilan apabila ditemukan bukti bahwa putusan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum atau berdasarkan bukti yang palsu, terdapat kecurangan dalam proses, atau adanya kesalahan prosedural yang mendasar.

Kekuatan Hukum Arbitrase

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun