Deru ombak samudera menggema. Semilir angin Timor membawa wewangian padang savana sembari mengiringi kepergian malam. Kemudian sang mentari pagi beranjak dari peraduannya, menerangi wajah alam yang terbentang dalam padang savana. Mungkin jiwa bumi masih tertidur, terbuai rayuan dewi mimpi bulan purnama sehingga savana ini begitu damai menyambut kehadiran sang mentari pagi, batinku.
Dari jendela rumah tua peninggalan para misionaris Eropa, kupandang hamparan padang savana yang terbentang dihadapannya dengan segerombolan kuda sandelwood yang berkejaran. Sudah menjadi kebiasaanku, setiap pagi menikmati hamparan padang savana ini.Tak ada yang beda, setiap pagi pemandangan savana selalu sama. Rumput-rumput yang telah menguning, pohon cemara yang telah layu, ranting-ranting jati yang gugur maupun segerombolan ternak yang digembalakan para tuannya. Inilah eskotik kekhasan tanah Sumba yang menjadi daya pemikat bagi para pelancong dari negeri asing. Padang, ternak dan para gembala telah bersahabat dan memiliki satu ikatan perasaan yang erat. Mereka mempunyai bahasa cinta tersendiri, kataku pada diri sendiri.
Aku terus memandang hamparan savana, dan dikejauhan tampak siluet fatamorgana. Sayup-sayup kicauan burung wallet yang bersarang pada dinding-dinding biara tua di sebelah rumah menambah indahnya pagi ini.Sungguh pagi yang sempurna.
****
Rumah tua. Itulah nama yang sejak kecil kudengar orang-orang kampung menyebutnya. Aku tak tahu sejak kapan predikat rumah tua melekat pada tempat dimana aku menemukan surga. Ia, aku menemukan surga disini di rumah tua ini. Letaknya diujung savana. Hamparan padang savana terbentang maha luas didepannya. Disitulah tempat kuda-kuda menemukan gelangangnya, dan burung-burung menemukan tempat bermainnya. Disisi timur, laut biru dan ombak samudera bersatu dengan karang bercadas. Bila senja tiba, ku melihat nelayan-nelayan mengarungi samudera dengan sampan-sampannya, dan bila bulan bercahaya dikala malam, aku dan saudarakuberebutan naik diatap rumah tua melihat kerlap-kerlip di benua seberang; Australia. Dan ketika pagi menjelang, dari jendela rumah tua kami melihat fajar merekah dari balik awan-awan pekat diujung samudera. Mula-mula cahaya kemerah-merahan membuncah, kemudian menukik memancar samudera. Dan disana, bersama fajar yang datang, kami melihat nelayan-nelayan pulang, membawa hasil tangkapan sambil mendengungkan lagu rindu buat istri dan anak-anak yang menantinya di daratan. Disinilah rumahku, rumah tua kata orang-orang kampung.
***
Aku masih berdiri di jendela rumah tua. Membiarkan pikiranku berkelana, memandang hamparan padang savana yang terbentang di hadapan rumah tua. Hawa pagi yang sejuk menembus kisi-kisi jendela rumah tua, membawaku pada sebuah memori, ketika eksistensi cinta dipertanyakan. Memoriku membawaku pada suatu masa yang telah menjadi sejarah, suatu masa dipinggir lautan sumudera hanya sejauh sepelemparan batu dari rumah tua.
Aku teringat apa yang diungkapkannya kala berdua menikmati senja yang tamaran dipinggir samudera. Katanya konsepsi filsafat hanya mampu bernalar tetapi tidak mampu mencintai seseorang. Tidak, kataku protes. Filsafat mengajariku bahwa mencintai adalah sebuah kebebasan untuk memilih, karena cinta bukan hanya sekedar perasaan, tetapi cinta harus dirasionalisasikan. Cinta harus dipertanyakan eksistensinya, untuk apa dan bagaimana saya harus mencintai, kataku sedikit berguru. Cinta adalah hasrat terdalam dari diri dan jiwa kita sendiri. Cinta merupakan sebuah rahasia jiwa manusia, karena didalamnya terbenam tujuan, hasrat dan rasa dari setiap insan manusia.
Filsafat membuatmu pandai bernarasi tentang cinta, tetapi filsafat tidak mengajarimu bagaimana jatuh cinta pada wanita, katanya tak mau kalah.
Benar, filsafat tidak mengajari itu, karena jatuh cinta adalah soal hati, dan hati mempunyai pikiran sendiri yang tidak dimengerti oleh akal, sedangkan akal mempunyai pikiran sendiri yang tidak dimengerti oleh hati. Filsafat adalah persoalan akal bukan perasaan, dan filsafat hanya mampu berbicara tentang cinta... Aku berlogika agar ia mampu membedakan antara perasan dan peran akal.
Jika demikian, bicaralah padaku tentang cinta dalam pandangan filsafat, katanya sambil memandang deburan-deburan ombak samudera yang menghempas dibebatuan. Kami terdiam, hening......
Bicaralah padaku tentang cinta dalam pandangan filsafat, katanya sedikit memaksa. Apakah itu penting bagimu! aku balik bertanya. Itu sangat penting bagiku, karena filsafat telah membodohiku tentang arti cinta, dan bagaimana saya harus mencintai! Baiklah, jawabku mengikuti keinginannya. Filsafat menawarkan konsep cinta yang akan membawa manusia pada pemahaman tentang cinta yang benar, mendalam dan bermakna dalam relasi antar manusia. Sehingga cinta bukanlah sekedar kata-kata tetapi tindakkan konkret yang direalisasikan dalam kehidupan nyata, kataku berfilsafat. Dalam filsafat hal ini disebut sebagai bentuk cinta Marxian. Cinta dari bentuk ini, mencoba mengkonstruksi analisa Karl Marx tentang masyarakat dan hubungan antar manusia di dalamnya. Masyarakat terdiri dari kelas-kelas sosial, dimana kaum mayoritas selalu mengeksploitasi kaum minoritas. Takaran cinta dalam tahap ini dianalisa berdasarkan persepsi, sikap, corak produksi dan kemampuan ekonomi. Tepatnya, untuk menjalin cinta hakiki, manusia harus melawan belenggu ekonomi-politik, sosial-budaya yang telah mempersempit ruang cinta. Atau untuk mewujudkan nilai cinta sejati, manusia harus menyingkirkan prasangka ideologis, suku, agama yang membatasi kelas-kelas sosial dan yang telah membuat relasi cinta menjadi tersekat-sekat. Marx dalam pemikiran utopia ini mengatakan bahwa cinta hanya akan terwujud secara maksimal dalam masyarakat yang tanpa kelas sosial.
Ia menatapku. Sinar matanya terasa sahdu, dan akumenemukan dua bola mata indah, bahkan yang terindah yang pernah kulihat. Jadi filsafat mengajarimu untuk tidak mencintai karena perbedaan kelas? Tanyanya penuh rasa keingintahuan. Bukan, bukan itu yang dimaksudkan. Cinta Marxian hanyalah segelintir ide yang mengeritik struktur masyarakat yang mengedepankan strata sosial dan budaya. Ada bentuk cinta yang lain dan kualitas cinta yang menekankan keindahan kata, keromantisan dan kehalusan perasaan. Ada Khalil Gibran sang pujangga cinta Lebanon yang menjunjung tinggi seni mencintai, pandai menguraikan arti cinta dalam kata atau kalimat yang indah. Ada Erich From sang filsuf yang banyak menuangkan gagasancinta dalam kaitan dengan psikoanalisa. Cinta memiliki beragam makna serta variasi cara untuk mengungkapkannya. Cinta adalah kebebasan dan mencintai adalah sebuah pilihan.
Terima kasih atas kotbahmu tentang cinta, katanya.
Kami diam sejenak,.. berkelana dengan pikiran masing-masing.
Apakah masih mencintaiku,..ingatlah, kita dilahirkan dalam struktur tradisi. Tradisi sudah mengatur dirimu dan aku untuk bersama,tanyanya dengan nada hambar.
Rambu, aku sadari, aku masih memiliki perasaan untuk mencintai dan dicintai. Tapi cinta ini harus dimengerti secara lain. Aku mencintai secara universal. Jika aku mencintaimu, maka aku juga mencintai semua orang, mencintai dunia dan kehidupan. Jika aku berkata padamu, aku mencintaimu, maka aku harus berkata, aku mencintai yang lain, aku mencintai semua orang dan aku mencintai diriku sendiri. Sebab cinta telah mengajariku sebuah ketulusan untuk mencintai secara bebas.Dan pula aku belum menentukan cinta yang devenitif. Cintaku masih bebas, belum dimiliki dan belum juga memiliki.
****
Lonceng-lonceng gereja berdentangan, sudah jam dua belas siang. Dari jendela rumah tua aku menatap hamparan savana, rumput-rumput yang menguning, cemara yang layu, dan segerombolan sandelwood berkejar-kejaran. Cinta kadang membutuhkan retorika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H