Di gubuk tua, selekas menegak kopi pagi
Aku pernah bertanya pada ibu, perihal ayah yang tak lekas pulang dari ladangnya yang menahun
Tangan ibu yang tampak keriput dimakan usia, membelai rambutku, barangkali kutu-kutu masih menempel di kepalaku
Aku enggan berdebat soal pada ibu, soal itu, bagiku jamahan sang ibu adalah larik doa yang paling mujarab dari setiap harap
Asap hitam membumbung tinggi dari gubuk kami pagi itu, sementara percakapan kami dengan ibu perihal ayah tak kunjung usai bila kususun dalam satu buku
Ibu selalu punya cara unik setiap tanya dari mulut kami yang polos padanya
Bibirnya tampak masih pandai mendongeng dan bercerita apapun, kala kami anaknya bertanya soal ayah yang tak lekas pulang
Padahal, kepulangannya adalah rindu yang menggunung dalam Sukma kami yang menahun tak kunjung menyurut
Jawabannya singkatnya, selalu menjawab tunggu saja nak
Darinya kami belajar, perihal tunggu, bukanlah hal yang membosankan
Sebab, tunggu adalah pelajaran yang tak pernah diajarkan di manapun selain dari bibirnya
Kelak, kalian tahu apa arti dari sebuah cerita yang kususun rapi seperti larik kata dalam puisi yang memiliki roh, jawabnya
Senyum simpul dari bibirnya, akan selalu menutup ceritanya di setiap percakapan yang tak berusai itu pada kami darinya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H