Menggugat Tuhan dan Dogma dalam puisi "Anggur  Tumpah di Luar Gereja" Karya Mikhael Wora
Sastra "menyajikan kehidupan" dan "kehidupan" sebagaian besar terdiri dari kenyataan sosial walaupun karya sastra juga  meniru alam dan dunia subjektif manusia (Rene Wellek dan Austin Waren, 1977:40). Â
Kenyataan sosial inilah yang mendorong penyair mengoreskan isi hati juga isi kepalanya yang terbentur dengan dinding realitas yang sedang ia hadapi. Dalam puisi "Anggur Tumpah di luar Gereja" terlihat cukup jelas kalau puisi ini lahir dari terbenturan keras antara batin penyair dengan realitas sosial yang tengah ia hadapi.Â
"Anggur Tumpah di Luar Gereja" adalah sebuah auman hening yang hemat saya cukup melengking tajam. Mengugah iman bahkan mungkin mengugat Allah. Mungkin.
Penyair dalam puisinya menyuguhkan diksi-diksi yang biasa tapi padat dengan makna. Mikhel membuka puisinya dengan larik yang sederhana
/"mentari masih ngantuk. Aku sudah bangun"/.
 Bagian ini terlihat seperti sebuah prolog dalam puisinya. Prolog yang hanya terdiri dari dua larik saja. Yah,,puisi itu sungguh unik memang. Ia bahkan merangkum semesta beserta seluk beluknya hanya dengan beberapa larik saja.
 "Mentari masih ngantuk. Aku sudah bangun. Bagian ini melambangkan rutinitas penyair yang biasa ia lakukan setiap hari. Namun jika ditelisik lebih dalam ada sesuatu yang hendak penyair sampaikan. Sesuatu itulah yang hendak gali dalam dalam larik-larik berikutnya.
Pada larik berikutnya penyair menulis:
/"Katanya ada yang matanya tidak tutup setiap hari. Yah, dia bangun lebih awal sebelum lonceng Gereja ada"/.