(Sebuah Refleksi Sederhana Hardiknas 2024)
Kekayaan dan kekhasan kebudayaan masyarakat lokal Manggarai-Flores NTT; salah satunya tercermin dalam berbagai ungkapan yang mengandung makna mendalam mengungkapkan nasihat, perjuangan, harapan, doa, motivasi dan sebagainya.
Salah satu ungkapan bermakna terkandung dalam sederetan kata yang memiliki keselarasan bunyi yaitu; ‘Toing, Titong, Toming’.
Ketiga kata ini memiliki keterkaitan, memberikan kekuatan dan energi positif saat diwujudnyatakan dalam tindakan keseharian masyarakat Manggarai.
Dalam tulisan ini penulis tidak menelusuri secara etimologis (asal-usul serta unsur-unsur) pembentuk kata ‘Toing, Titong, Toming’.
Namun memaknainya untuk menjiwai peran seorang pendidik (guru) dalam pengabdiannya serta sebagai pijar refleksi dari kekuatan sebuah ungkapan kearifan lokal (Manggarai) yang selaras dengan pemikiran folisofis Ki Hajar Dewantara sang tokoh pendidikan nasional yang telah meletakkan dasar dan hakekat pendidikan itu sesungguhnya.
Toing = menasihati, mengajarkan; Titong = menjaga, melindungi, mengarahkan, mendampingi, menuntun; Toming = meniru, mengikuti, mencontohkan/memberi contoh, meneladani).
Mendalami arti, maksud dan tujuan serta wujudnyata tindakan dari ketiga kata ini sudah sangat dipahami oleh masyarakat Manggarai, juga oleh para guru yang telah berusaha semaksimal perannya dalam mengemban tugas mulia yang telah dipercayakan.
Perwujudan ketiga kata ini seyogianya tidak saling lepas dalam konsep mendidik. Oleh karenannya dalam konteks proses mendidik menekankan bahwa mengajar (toing) dan menuntun (titong) dengan cara memberi contoh/teladan (toming).
Maka konsep ini dalam budaya Manggarai menggarisbawahi hakekat pendidikan yaitu Toing agu Titong le Toming (mengajar dan menuntun dengan cara meneladani) sebagai filosofi keraifan lokal yang patut dijunjung tinggi dan terus menggema setiap aktor pendidikan.