Mohon tunggu...
FRANSISKUS HERU
FRANSISKUS HERU Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis asal Kec. Sompak, Kab. Landak, Kalimantan Barat.

Membaca dan menulis berlaku seumur hidup. TERUSLAH SEMANGAT BELAJAR ! *Kelahiran Mangaro, 20 Oktober 1997 *Alumnus IKIP Budi Utomo Malang *Guru SDN 09 Galar *Content Writer di www.sdngalar09.sch.id *Blogger di Kompasiana *Artikel ilmiah terpublikasikan ejurnal.budiutomomalang.ac.id *Cerpen pernah diterbitkan Alinea *Email 1: fransiskusherumahatalino17@gmail.com *Email 2: fransiskusheru17.writer@gmail.com *WhatsApp: 082177482203

Selanjutnya

Tutup

Diary

T2 (Tak Tahu)

29 Juni 2024   15:24 Diperbarui: 29 Juni 2024   21:29 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu tempat biasa kami ngopi pada malam hari, di tempat ngopi lesehan milik Pak De atau biasa kami sebut Pak Insom. Dulu aku sering ngopi disini, namun semenjak teman-teman dari Anak Kalimantan Barat banyak yang pulang karena mereka sudah beres menyelesaikan tugas kuliah mereka, dan semenjak itu juga aku jarang ngopi disini. Beranjak keluar dari Kos aku atau Orang Jawa bilang "Budal'" yang diartikan ke dalam Bahasa Indonesia-nya "Berangkat/Pergi." Kemudian, berjalan melewati gang rumah warga satu demi satu dengan bunyi hentakkan sandal dari aku yang kemungkinan orang tidur bisa saja terbangun. Hehe, harap dimaklumin ya rumah orang-orang di sini pada berdekatan atau rapet. 

Berjalan kaki, ya perjalanan kaki aku yang sebelum menuju tempat ngopi lesehan si Pak De Lejen di Kajoetangan Kota Malang, dalam perjalananku ini, kunampak dari lima meter kedepan, kayak ada selembar uang berwarna biru.

Kupercepat langkah kakiku, makin kupercepat bagaikan diriku dalam ajang lomba lari seratus meter gaya nyamping kepiting. Makin kudekat sambil kepala yang agak turun dengan posisi kayak ayam kampung lagi minum air selokan, dan ehh boro-boro uang, ternyata bukan uang nominal lima puluh ribu Rupiah yang ada dalam pradugaku, melainkan taik mencret punya kucing Malang yang tertutupi bungkus kue oreo.

"Sial!", ucapku.

Lanjut lagi aku berjalan, dan pada akhirnya aku pun tiba di tempat Pak De hanya untuk minum kopi buatan anak Pak De yang sudah punya anak dua, merokok tanpa membawa korek, memandang ladies-ladies yang mondar mandir di depanku, dan chattingan ditemani angin malam yang sepoi-sepoi.

Sampek, berdiri dan belum juga duduk. Sengaja aku belum duduk di kursi Pak De yang telah ia tata senyaman mungkin bagi pelanggannya. Aku belum juga duduk karna aku sadar kalok aku belum memesan minuman andalanku, yakni si kopi hitam.

Aku pun berkata "Pak De, kopinya satu."

Terus Pak De jawab "Bentar ya, nunggu anak saya dulu!."

Sebab Pak De pada saat itu ndak ada waktu luang untuk buatkan aku minuman yang aku inginkan karena Pak De lagi sibuk urus pekerjaan tambahannya di bagian juru menjuru kendaraan atau juru parkir.

Tak lama kemudian, Mbaknya yang anak Pak De ini pun menghampiri aku, habis ngantar minuman ke pemesan. Mbaknya bertanya kepadaku.

"Pesan apa Mas?", aku pun menjawab.

"Kopi hitamnya satu ya Mbak", Mbaknya balas menjawab "oo iya Mas" lalu Mbaknya bertanya balik kepadaku "kok sendirian Mas, temannya kemana?", aku jawab "iya Mbak, teman-teman pada lagi malas mau keluar."

Minuman kopiku pun datang, aku mengucap "terima kasih Mbak", kubiarkan dulu kopiku agak hangat kuku bahkan aku rela menunggu kopiku sampek dingin. Biar apa lah? ya biar lidah sama bibir selamat dari serangan hangatnya air panas. Ngopi, ngerokok, chattingan berlirik Guyonan (Bercanda) dengan sahabat-sahabat aku, dan tak lupa juga mata memandang indahnya bunga nan harum karya Tuhan, yaitu para wanita. Duduk lesehan di kursi Pak De menghabiskan detik demi detik hingga kurang lebih tiga jam aku nongkrong enjoy sendiri di Pak De. Kantung kemih terasa mau penuh, dan suhu mulai terasa dingin yang menusuk pori-pori kulitku. Aku pun pulang, tersadar lagi bahwa aku tu belum bayar minuman kopi yang tlah aku teguk sampai ampas-ampasnya juga aku gigit. Bangun dari kursi, kuhampiri Mbak si anak Pak De ini. Maaf, karna aku tak tau dan tak ingin menanyakan siapa sebenarnya nama anak Pak De yang ketiga ini. Aku bertanya "berapa Mbak?", si Mbaknya jawab "lima ribu Mas", lalu Mbak bertanya "sama rokok ta Mas?", aku jawab "enggak Mbak." Udah aku bayar sama kasir, ehh Mbaknya maksud aku, wekaweka. Harga kopi itu lima ribu Rupiah, uangku sejumlah sepuluh ribu Rupiah, kembalian uangku pun Mbaknya serahkan sama aku, dan aku berjalan pulang menuju Kos-ku. Kos penuh sejarah solidaritas ngopi, ialah Kos Dilan 1060.   

Satu per sembilan dari total sepuluh, sepersembilan di perjalanan menuju Kos-ku. Entah siapa yang mengutus, aku bertemu Cewek Cantik. si Cewek Cantik yang tinggi, glowing seperti Made in Korea, berbaju ijo muda, bercelana panjang warna hitam, tersenyum menyerupai pemalunya seekor kucing. Ada satu hal yang buat aku berpikir keras sama si Cewek itu, kenapa itu Cewek tersenyum sekaligus menyapaku dalam perjalanan? Sapaan si Cewek Cantik pada diriku itu, yakni KAK ?. Sapaan yang sungguh-sungguh singkat. Jujur, aku tidak mengenal Cewek tersebut sampai terdalam, namun yang kutau kalok Cewek itu adalah karyawati atau pekerja. Sebelum Kejadian di Malam 8 Mei 2022 itu, aku ada sesekali tiada sengaja, berjumpa dengan Cewek Cantik yang aku ceritakan di atas. Pada jumpaan itu juga, si Cewek Cantik itu selalu aja tersenyum manis dihadapanku, menatap mukaku yang aku anggap mukaku mirip Teroris-teroris gagal jahat, bahkan yang lebih buat aku makin kebingungannya ialah menyapaku dan kulihat mukanya yang imut Unyu-unyu. Aku hanya melihat wajahnya, bibirnya, serta ada aku didalam bola matanya. Dengan refleks alamiah dari batinku, aku hanya membalas dengan senyuman superku, yaitu senyuman hemat. 

Cerita ini, cerita nyata dari Aku si Pencerita. Tak Tau atau T2, sampai sekarang pun, aku tak tau. Kujumpa si Cewek yang cantik di jalan dengan jalan berukuran hanya lebar satu meter. Aku tak tau dianya bernama siapa?, asal dari mana?, dan umur berapa?. Lagi-lagi aku tak tau. Cewek Cantik yang kulihat nampak manusia nyata, dan bukanlah seperti Para Cewek Cantik yang ada di instagram atau di twitter. Setelah menjumpai Cewek Cantik tadi itu, kita sama-sama menuju kos masing-masing. Yap, aku tau kalok Kos si Cewek Cantik itu tidaklah jauh dengan Kos-ku. Berjarak dua meter berlintas, leherku berputar hanya untuk melihat kembali Cewek Cantik tersebut yang naik tangga depan kosnya. Yang awalnya, aku pulang bergegas hanya untuk pipis. Kemudian, bertemu secara tak sengaja dengan Cewek yang cantik itu, ehh serasa kering urine-ku. Lanjut kulangkahkan kakiku, lanjut juga pikiranku. Dalam otakku, siapa ya Cewek tadi tu?, kok dia malah tersenyum ketemu aku?, atau mungkin, aku tadi tu salah fashion?, atau jangan-jangan ada kelihatan lucu dimatanya tadi. Tapi, apa ya kira-kira?. Tiba di Kos, tak lupa aku sempatkan untuk berpikir agak sok kritis, sebenarnya siapakah Cewek tadi?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun